Ekspor Dipatok Naik 11%, Industri Oleokimia Hadapi Kendala Harga Gas

ANTARA FOTO/Akbar Tado/YU
Ilustrasi. Salah satu bahan baku utama industri oleokimia di Indonesia adalah kelapa sawit.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
19/4/2022, 05.15 WIB

Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) menargetkan, volume ekspor oleokimia dapat tumbuh 11,9% menjadi 4,7 juta ton atau setara US$ 4,7 miliar pada tahun ini, meski produksinya menyusut dalam dua bulan pertama. Ada dua tantangan yang dihadapi industri Oleokimia, salah satunya harga gas yang tak sesuai ketetapan pemerintah. 

Hingga Februari 2022, volume ekspor oleokimia tercatat turun 4,65% secara tahunan menjadi 614.000 ton. Namun demikian, nilai ekspor oleokimia pada Januari-Februari 2022 naik 57,62% menjadi US$ 889 juta. 

"Negara tujuan utama kami masih didominasi Cina, Uni Eropa, lalu India. Kemudian Timur Tengah dan Afrika," kata Ketua Umum Apolin Rapolo Hutabarat di Jakarta, Senin (18/4). 

Dalam catatan Apolin, produksi berbagai produk oleokimia terus mengalami tren kenaikan sejak 2018 hingga 2021. Adapun pada tahun ini, menurut dia, terdapat dua kendala utama yang dihadapi industri oleokimia. 

Pertama, tuduhan dumping oleh Uni Eropa dan India akibat subsidi yang diberikan pemerintah. Pada tahun lalu, kedua pasar tersebut berkontribusi sekitar 23,07% dari nilai ekspor oleokimia dan 20,47% dari volume ekspor. Ekspor ke Benua Biru pada 2021  mencapai sekitar 590.000 ton dengan nilai sekitar US$ 710 juta, sedangkan pengapalan ke Negeri Bollywood mencapai 270.000 ton senilai US$ 310 juta. 

Rapolo mengatakan, industri oleokimia nasional kini tengah menjalani investigasi dari Organisasi Dagang Dunia (WTO) untuk menjawab tuduhan kedua pasar tersebut hingga 2024.  Saat ini menurut Rapolo, pihaknya telah bekerja sama dengan beberapa pihak, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan. 

"Ini sangat menganggu kami dari industri oleokimia. Kami harus meminta uluran tangan pemerintah untuk memberikan bantuan," kata Rapolo. 

Kedua, harga gas industri yang tidak sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 121-2021 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Beleid yang diimplementasikan pada medio 2021 ini mengatur bahwa sebagian industri mendapatkan harga gas khusus senilai US$ 6 per MMBTU. 

Menurutnya, sebanyak 90% dari pelaku industri oleokimia mendapatkan harga gas senilai US$ 6 per MMBTU.  Namun demikian, kepatuhan pemasok untuk tetap mematok tarif gas di US$ 6 MMBTU terus turun sejak 2021. Ia melaporkan rata-rata kepatuhan pemasok gas terhadap Perpres No 121-2021 kini hanya mencapai rata-rata 80%. 

"Yang 20% lagi itu dikenakan tarif komersil, di atas harga Perpres 121-2021," kata Rapolo. 

Oleokimia adalah bahan kimia apapun yang berasal dari lemak. Contoh hasil olahan oleokimia adalah mentega, sabun, dan minyak goreng. Salah satu bahan baku utama industri oleokimia di Indonesia adalah kelapa sawit. 

Adapun konsumsi minyak sawit dalam negeri terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), konsumsi minyak sawit tercatat sebesar 18,42 juta ton pada 2021.

Reporter: Andi M. Arief