Harga Tiket Pesawat Meroket, Okupansi Hotel Makin Tertekan

ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.
Petugas merapikan kamar di Hotel GranDhika Iskandarsyah Jakarta, Rabu (7/4/2021). Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta menyatakan kebijakan pelarangan mudik Lebaran tahun ini diharapkan akan memberikan dampak positif bagi okupansi hotel hingga 30 persen dari kondisi sebelumnya.
2/6/2022, 18.51 WIB

Kenaikan harga tiket pesawat berdampak pada sektor pariwisata, termasuk okupansi hotel. Pemerintah diminta untuk menambah jumlah maskapai penerbangan yang bisa beroperasi di dalam negeri sehingga harga tiket pesawat bisa ditekan.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) Haryadi Sukamdani mengatakan, harga tiket pesawat yang tinggi pernah terjadi  pada 2019. Tingginya harga tiket pesawat pada saat itu langsung menurunkan jumlah perjalanan wisatawan nusantara (wisnus) dari 303 juta menjadi sekitar 290 juta.

"Orang kalau mau pergi (wisata), kalau harga (tiket pesawat) mahal, mendingan nggak pergi," kata Haryadi kepada Katadata.co.id, Kamis (2/6). 

Haryadi mengatakan, tingginya tiket pesawat akan memiliki dampak khusus bagi okupansi perhotelan. Berdasarkan pengalaman 2019, okupansi perhotelan  tidak pernah mencapai lebih dari 60% karena harga tiket pesawat tinggi.

Berdasarkan data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), okupansi terendah untuk hotel berbintang terjadi pada Mei 2019 atau di level 43,53%. Pada Mei 2020, okupansi hotel berbintang ada di posisi 53,86%. 

Haryadi mengatakan, saat ini masyarakat juga memiliki kebiasaan baru dalam melakukan rapat atau acara pertemuan yaitu melalui virtual. Padahal, MICE (Meeting, Incentive, Convention, Exhibition) merupakan salah satu pendapatan dari perhotelan. Hal itu diperburuk dengan harga tiket pesawat mahal yang menyebabkan orang semakin banyak beralih ke virtual.

"Orang-orang sudah terbiasa pakai Zoom saat pandemi, akhirnya perjalanan dinas bisa pakai Zoom," kata Haryadi. 

Maka dari itu, Haryadi mendorong pemerintah agar menambah jumlah maskapai yang beroperasi di dalam negeri. Menurutnya, Lion Air Group kini menguasai lebih dari 60% pasar industri penerbangan di dalam negeri.

Haryadi menilai dominasi tersebut berpotensi menahan adanya persaingan yang tidak adil dan perkembangan inovasi di industri penerbangan nasional. Selain itu, dominasi pada suatu industri juga memungkinkan adanya pengaturan harga, dalam hal ini tiket pesawat. 

Menurut dia, pemain industri penerbangan eksisting tidak dapat bersaing dengan Lion Air Group. Pertimbangannya, Lion Air telah melakukan penambahan armada sekitar 100 unit, sedangkan Citilink baru mencapai 8 unit. 

Oleh karena itu, Haryadi menilai penambahan pemain di industri penerbangan menjadi kunci ke dunia internasional. "Jadi, masyarakat nantinya bisa mendapatkan harga tiket dengan wajar, bukan karena dominasi suatu (perusahaan) penerbangan," kata Haryadi. 

Haryadi mengusulkan agar pemerintah memasukkan pemain industri penerbangan di kelas maskapai bertarif rendah (LCC). Menurutnya, maskapai LCC dapat membawa penumpang lebih banyak dengan tarif yang lebih kompetitif. 

"(Maskapai kelas) full service lebih mahal (harga tiketnya) karena mengikuti demand (pasar. Jadi, kami berharapnya (maskapai) LCC yang masuk," kata Haryadi. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Tingkat Penghunian Kamar hotel berbintang di Indonesia pada Maret 2022 berada di level 45,15%. Angka ini naik sebesar 9,08 poin dibandingkan dengan TPK Maret 2021 yang sebesar 36,07%.

Reporter: Andi M. Arief