Menteri BUMN Erick Thohir pada akhir Maret lalu mengecek kemajuan proses pembangunan Rumah Sakit Internasional milik perusahaan negara di Bali.
Berbagai kemajuan terlihat sejak peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo akhir tahun lalu.
Bentuk infrastruktur dasar dari bangunan rumah sakit dan kawasan sudah mulai terlihat. Bangunan Rumah Sakit Internasional Bali terletak di kawasan Sanur, Denpasar.
Erick menyatakan bahwa pembangunan rumah sakit tersebut mempunyai dua tujuan, yaitu memperkenalkan Bali sebagai salah satu destinasi wisata kesehatan, dan juga sebagai sarana pendukung kesehatan berkualitas premium.
Kementerian BUMN telah membentuk satu holding baru di bidang kesehatan, yang dipimpin oleh Bio farma dan beranggotakan Kimia Farma, Indofarma dan PT Pertamina Bina Medika IHC (Indonesia Healthcare Corporation).
Dana yang dibutuhkan untuk pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Kesehatan di atas tanah seluas 50.000 km persegi ini sebesar Rp1,7 triliun. Keseluruhan proyek diharapkan akan selesai pada 2023.
Penunjukan Bio Farma sebagai pemimpin holding bisa dilihat sebagai wujud apresiasi sekaligus kepercayaan pemerintah. Sebab holding kesehatan ini kesehatan mampu mencatat pertumbuhan laba positif. Bio Farma mengantongi laba bersih Rp1,93 triliun sepanjang 2021 atau tumbuh 567,89 persen dibandingkan kinerja pada 2020.
Sementara Kimia Farma mendapatkan laba Rp302 miliar padaI 2021, jauh lebih tinggi dibandingi 2020 sebesar Rp17,6 miliar. Kemudian IHC, dari yang labanya hanya Rp170 miliar pada kuartal III-2020, pada kuartal III-2021 berhasil meraih laba Rp 606 miliar atau naik 71,95 persen.
Hanya Indofarma yang sepanjang 2021 masih mengantongi kerugian bersih Rp 37,58 miliar. Pada 2020, emiten berkode INAF ini masih mencetak laba Rp27,58 juta.
Bidik Wisata Kesehatan
Inisiatif pembangunan ini merupakan tindak lanjut dari keprihatinan yang diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo saat peletakan batu pertama dulu.
Jokowi mengungkapkan Indonesia berpotensi kehilangan Rp97 triliun akibat dari dua juta lebih warganya mencari perawatan medis di luar negeri.
Masyarakat Indonesia mencari berbagai macam perawatan kesehatan, seperti pengecekan kondisi medis, perawatan tulang dan gigi, perawatan estetik non-medis hingga perawatan sakit kritis.
Berdasarkan riset Deloitte, pada 2019, sekitar 750 ribu warga Indonesia pergi ke Singapura untuk berobat dan mencari perawatan. Pada kesempatan yang sama, 1 juta orang, kebanyakan berangkat dari Medan, Sumatera Utara, pergi berobat ke Malaysia.
Sebagai dua negara destinasi wisata kesehatan terpopuler, Malaysia dan Singapura berhasil menjaring 74 persen kebutuhan perawatan kesehatan warga Indonesia.
Adapun, 100 ribu warga Indonesia memilih untuk pergi ke Thailand untuk perawatan estetik non-medis. Korea Selatan juga menjadi tujuan selanjutnya bagi hampir 300 ribu warga Indonesia yang mencari perawatan estetik dan ortopedi.
Warga Indonesia bahkan rela terbang jauh ke Amerika guna mencari kesembuhan. Terbukti dari catatan pemerintah bahwa terdapat hampir 200 ribu orang yang berangkat ke Amerika untuk pengobatan sakit kritis.
Dari jumlah tersebut, hampir 60 persen di antaranya berasal dari Jakarta, 15 persen berasal dari Surabaya, 10 persen berasal dari Medan dan Batam. Sementara sisanya kurang dari 10 persen tercatat dari berbagai kota di Jawa Timur.
Kualitas perawatan prima dan transparan, dibalut dengan pelayanan yang mencakup mulai perjalanan, akomodasi selama perawatan yang dibanderol dalam harga murah tampaknya menjadi daya tarik utama bagi warga yang hendak berobat atau mencari perawatan kesehatan.
Presiden Joko Widodo berharap bahwa setelah rumah sakit di Bali terbangun, dapat mencegah kepergian masyarakat Indonesia yang terbiasa pergi ke luar negeri untuk berobat.
“Kita harapkan setelah selesainya rumah sakit Bali International Hospital ini, benar-benar semuanya tidak ada yang pergi ke luar,” ujar Joko Widodo, dikutip dari Katadata.co.id.
Nantinya, holding klaster kesehatan akan bekerja sama dengan organisasi nirlaba pengelola fasilitas kesehatan terkemuka dari Amerika, Mayo Clinic, dalam mengelola fasilitas kesehatan ini.
Industri wisata kesehatan dan kebugaran di Indonesia bernilai Rp12,8 triliun pada 2019 dan diharapkan dapat tumbuh 6 persen hingga 2025 mendatang.
Tiga sektor tertinggi yang paling populer dilakukan pada sektor medis adalah perawatan ortopedi, dengan 15,4 persen dan gigi dengan 14 persen, lalu fertilitas alias kesuburan dengan 13,5 persen.
Sementara posisi tiga besar pada industri kebugaran diduduki oleh industri spa dengan 8,9 persen, lalu fitness dengan 6,6 persen dan kolam air panas/mineral dengan 5,9 persen.
(Tim Riset Katadata)