Revolt Industry meraup omzet Rp 400 juta per bulan dan mengekspor produknya hingga Italia. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) asal Surabaya memanfaatkan potensi kulit sapi lokal.
UMKM itu bergerak di bidang produk gaya hidup, seperti fashion dan aksesori dengan material kulit sapi lokal. Produknya berupa dompet, tas hingga masker.
CEO Revolt Industry Stephen Firmawan Panghegar bercerita, modal awalnya Rp 7 juta. Ia membangun bisnis ini bersama tiga temannya pada 2014.
"Ada keunggulan sumber daya alam yang spesifik dan punya nilai kualitas tinggi, yakni kulit sapi Jawa," kata Stephen dalam webinar Win Local, Go Global - Bangga UKM Indonesia, yang digelar Katadata bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM, Selasa (28/6).
Sepengetahuannya, kulit sapi banyak ditemukan di desa-desa di Jawa Timur. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), provinsi ini memiliki desa dengan industri kerajinan kulit paling banyak di Indonesia, sebagaimana terlihat pada Databoks di bawah ini:
Stephen mengatakan, industri kulit termasuk kategori sekunder. "Ini mengubah dari sampah jadi produk yang mempunyai nilai tinggi," katanya. Selain itu, kulit sapi Jawa diminati oleh pasar luar negeri.
Revolt menjalankan bisnis secara independen, mulai dari pencarian material produk hingga pengelolaan keuangan.
UMKM itu pun meraup omzet Rp 400 juta sebulan. Revolt Industry juga telah mengekspor produknya ke sejumlah negara seperti Belgia, India, Jepang, Australia, Malaysia hingga AS.
Sebelum pandemi Covid-19, Revolt mengekspor 20% - 25% produknya ke luar negeri. "Setelah pandemi corona, kami hanya sumbang 10% untuk ekspor," katanya.
Stephen mengatakan, Revolt Industry sempat menghadapi sejumlah kendala saat menjalankan bisnisnya seperti operasional tempat produksi terbakar, kebanjiran hingga kemalingan.
Revolt juga terkendala regulasi saat mengekspor produk. "Kami pernah diminta oleh otoritas di Italia untuk menunjukkan sertifikat bebas antraks, karena produk kami bermaterial kulit sapi," katanya.
Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM bidang Produktivitas dan Daya Saing Yulius mengatakan, banyak UMKM lain di Indonesia yang mempunyai potensi ekspor seperti Revolt Industry. Namun, ada sejumlah kendala yakni:
1. Performa logistik Indonesia masih rendah
"Proses ekspor dari desa hingga ekspor lemah," katanya. Kemudian, biaya logistik juga mahal yakni 24% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
2. Pembiayaan
"Banyak UMKM yang mau ekspor, tapi ketika permintaan banyak mereka tidak sanggup memproduksi karena kurang dana," katanya. Sumber pendanaan dari perbankan kepada UMKM di Indonesia juga baru 20%.
3. Kualitas produk terganjal sertifikasi dan kelayakan
"Ini terkadang membuat Indonesia kalah saing," katanya.