Peneliti Ungkap Risiko Perluasan Lahan Sawah untuk Atasi Krisis Pangan

ANTARA FOTO/Jojon/YU
Petani membajak sawah dengan menggunakan traktor di persawahan Desa Uepai, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (21/8/2022).
21/10/2022, 21.27 WIB

Menghadapi risiko krisis pangan global yang melanda berbagai negara, pemerintah berupaya memperkuat ketahanan pangan nasional melalui proyek food estate atau lumbung pangan nasional di sejumlah daerah. Melihat rencana ini, Head of Agriculture Research dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Aditya Alta, mengingatkan beragam risiko dalam program swasembada pangan yang mengandalkan ekstensifikasi atau perluasan lahan sawah. 

Menurut Aditya, perluasan lahan tidak efektif sebagai solusi utama dalam menjawab tantangan sektor pertanian dan pemenuhan kebutuhan pangan Indonesia. Sebab kebijakan ini tidak menjamin peningkatan produktivitas pangan. Di samping itu, juga dapat merusak lingkungan serta memperparah krisis iklim. 

"Cara ini tidak sesuai dengan prinsip keberlanjutan dan berpotensi merusak lingkungan,” ujar Aditya, dalam acara CIPS di Jakarta, Jumat (21/10). 

Dalam menyediakan pangan, Aditya memaparkan beragam tantangan yang dihadapi sektor pertanian. Dari fenomena perubahan iklim yang menyebabkan berbagai bencana alam, sehingga berdampak terhadap ketidakpastian dalam musim tanam dan panen, serta berkurangnya hasil pertanian. 

Kemudian berkurangnya jumlah pekerja akibat menurunnya kesejahteraan petani, akibat harga pupuk yang terus melambung. Termasuk beberapa persoalan yang terjadi akibat faktor global karena bertambahnya populasi dunia. 

"Namun jumlah lahan yang tersedia akan tetap sama dan harus berbagi dengan kebutuhan infrastruktur dan industrialisasi. Sehingga kemampuan produktivitas lahan pertanian yang ada harus ditingkatkan untuk bisa mengikuti pertumbuhan permintaan pangan,” ujar Aditya.

Belum lagi ongkos produksi yang tinggi, belum efisiennya proses produksi, dan rantai distribusi yang panjang turut mempengaruhi harga. 

Dalam penelitiannya, CIPS menemukan bahwa secara umum biaya produksi bahan pangan utama di Indonesia lebih tinggi daripada di beberapa negara pengekspor komoditas serupa. Hal ini terjadi karena mekanisme produksi dan sistem distribusi yang kurang efisien. 

Padahal, tingginya ongkos produksi dapat diatasi melalui investasi pertanian secara berkelanjutan, dengan mendorong modernisasi dan transfer teknologi. 

Aditya berharap pemerintah dapat memperkuat produksi pangan dengan mendukung riset dan inovasi, mengadopsi teknologi pertanian, serta meningkatkan kapasitas petani agar lebih produktif, termasuk melalui kerja sama pihak swasta.

CIPS juga merekomendasikan peningkatan produktivitas lahan maupun tenaga kerja melalui penggunaan bibit unggul, peningkatan akses pada pupuk, penanganan serangan hama/Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), dan penggunaan alat mesin pertanian atau mekanisasi. 

Upaya lain juga dapat dilakukan dengan cara perbaikan teknik budidaya dan perluasan jaringan irigasi, modifikasi cuaca untuk mitigasi perubahan iklim, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia sektor pertanian.

Senada dengan Aditya, Sekjen Aliansi Pertanian Indonesia (API), Muhammad Nuruddin, mengatakan pencetakan sawah baru akan membutuhkan waktu lama, terutama di atas lahan gambut.  Selain itu, tindakan ini belum tentu dapat membantu memenuhi kekurangan stok pangan. Kemudian, karakteristik lahan yang dibuka untuk pertanian juga belum tentu cocok. 

Nuruddin menilai, program cetak sawah dengan membuka lahan juga berisiko mengancam ekosistem, dan berdampak pada keseimbangan lingkungan hidup. Untuk itu, pemerintah sebaiknya tidak mengulang kesalahan dengan menciptakan program pencetakan sawah secara masif. 

Terkait krisis pangan, sebelumnya Food and Agriculture Organization (FAO), lembaga pangan dan pertanian di bawah PBB, mencatat sekitar 3,1 miliar orang di seluruh dunia tidak mampu membeli makanan sehat. Selain itu, angka kelaparan terus meningkat dan berdampak pada 828 juta orang pada 2021.

Adapun dalam dua tahun terakhir, jumlah orang yang masuk dalam kategori rawan pangan meningkat dari 135 juta (2019) menjadi 193 juta (2021 dan 2022). 

FAO juga memprediksi kemungkinan yang lebih buruk, di mana sekitar 970 ribu orang diperkirakan akan hidup dalam kondisi kelaparan di lima negara. Negara tersebut seperti Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan dan Yaman.

Reporter: Nadya Zahira