FAO Sebut Indonesia Mampu Ajak Negara G20 Atasi Masalah Pangan
Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) menilai peran Indonesia sebagai Ketua G20 dapat dimanfaatkan untuk mengajak negara-negara anggota G20 mengatasi masalah kerawanan pangan, serta kelaparan yang terus meningkat di dunia.
“Fokusnya harus mendukung negara-negara yang berisiko kelaparan dan kekurangan gizi,” kata Perwakilan FAO untuk Indonesia dan Timor Leste, Rajendra Aryal dalam keterangan resminya, Jumat (14/10).
Dia menyampaikan bahwa harga pangan telah melonjak ke rekor tertinggi tahun ini, pupuk menjadi terlalu mahal bagi banyak petani, dan jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan terus meningkat. Berkaca dari kejadian sebelumnya, kondisi tersebut akan memberikan dampak terbesar kepada mereka yang mengalami kemiskinan.
“Kenaikan harga pangan mempengaruhi kita semua, tetapi dampaknya paling dirasakan oleh mereka yang rentan dan oleh negara-negara yang sudah mengalami krisis pangan," ujar Rajendra.
Oleh karena itu, FAO berupaya menyerukan kepada semua orang untuk mengambil tindakan dan menumbuhkan solidaritas global dalam melakukan transformasi pada sistem pertanian-pangan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, mengatasi ketidaksetaraan, meningkatkan ketangguhan, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Data FAO menyebutkan, saat ini terdapat 3,1 miliar orang di seluruh dunia yang tidak mampu membeli makanan sehat. Selain itu, angka kelaparan terus meningkat dan berdampak pada 828 juta orang pada 2021. Adapun dalam dua tahun terakhir, jumlah orang yang masuk dalam kategori rawan pangan meningkat dari 135 juta (2019) menjadi 193 juta (2021 dan 2022).
FAO juga memprediksi kemungkinan yang lebih buruk, di mana sekitar 970 ribu orang diperkirakan akan hidup dalam kondisi kelaparan di lima negara. Negara tersebut seperti Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan dan Yaman. Angka tersebut sepuluh kali lebih banyak dari enam tahun lalu, ketika hanya dua negara yang masyarakatnya menghadapi kondisi serupa.
Lembaga pangan di bawah naungan PBB tersebut juga menyatakan ada banyak biaya yang diperlukan untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal. Untuk itu, Rajendra menyebut negara-negara anggota G20 perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga pembiayaan internasional. Hal itu untuk meningkatkan likuiditas dan ruang fiskal, sehingga mampu memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat termiskin.
"Kita membutuhkan lebih banyak koordinasi antara dukungan darurat dan bantuan pembangunan, serta inisiatif untuk mempromosikan perdamaian di daerah yang terkena dampak konflik," ujarnya.
Dia juga menambahkan, kalau semua orang perlu bekerja sama untuk mendukung negara-negara yang terkena dampak krisis pangan. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan lokal dan memperkuat ketahanan populasi yang paling rentan.
Selain itu, dibutuhkan juga transformasi pertanian pangan global, dimulai dari petani kecil dan nelayan. Dalam hal ini, FAO mendorong untuk mengubah sistem pertanian-pangan menjadi lebih efisien, lebih inklusif, lebih tangguh, dan lebih berkelanjutan untuk produksi, nutrisi, lingkungan, dan kehidupan yang lebih baik untuk semua.
Rajendra juga mengatakan pentingnya memastikan dukungan mata pencaharian masyarakat yang efektif, terkoordinasi dengan baik dan tepat waktu, serta memperhitungkan musim tanam dan musim produksi ternak yang kritis.
"Kita harus ingat, setidaknya dua dari setiap tiga orang yang mengalami kelaparan ekstrem adalah produsen makanan skala kecil dari daerah pedesaan, yang membutuhkan dukungan kita untuk membantu mewujudkan transformasi sistem pertanian dan pangan," katanya.