Kinerja Industri Tekstil RI Anjlok Imbas Permintaan AS dan Eropa Turun

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/hp.
Pekerja menyelesaikan pemintalan benang di pabrik pembuatan sarung di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (9/11/2020).
26/10/2022, 15.13 WIB

Kinerja industri tekstil dan produk tekstil atau TPT anjlok disebabkan oleh permintaan global yang menurun signifikan. Hal itu juga dipengaruhi pelemahan rupiah terhadap Dolar AS yang menyebabkan kenaikan harga terhadap bahan baku impor industri tekstil.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia atau API, Jemmy Kartiwa Sastraatmadja, mengatakan kinerja industri tekstil telah turun hingga 30% sejak September lalu. Dia mengatakan, banyak produksi TPT Indonesia yang tidak bisa dipasarkan karena daya beli menurun baik domestik maupun ekspor.

Dia mengatakan, inflasi yang terjadi pada sejumlah negara tujuan ekspor TPT Indonesia menyebabkan permintaan menurun.

"Gak ada sentimen positif yang mendrive permintaan bisa naik, tidak ada permintaan. Karena kondisi global nya juga jelek. Market ekspor TPT Indonesia seperti Eropa dan Amerika melemah tajam," ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (26/10).

Kinerja industri tertekan pelemahan rupiah

Penurunan permintaan juga diperparah oleh pelemahan nilai tukar rupiah. Pasalnya masih banyak bahan baku tekstil  yang diimpor. 

Pelemahan rupiah menyebabkan harga pokok produksi tekstil menjadi naik. Artinya beban perusahaan akan semakin berat.

Jemmy mengungkapkan, adanya anacaman resesi global 2023 akan sangat berdampak pada industri tekstil. Pasalnya, saat ini banyak dari anggota asosiasi yang sudah mengurangi jam operasional perusahaan tekstil mereka.

 "Jadi dulu biasanya rata-rata perusahaan tekstil bekerja 7 hari dalam satu minggu, tiap hari bekerja selama 24 jam. Namun sekarang hanya bekerja maksimum 5 hari, pada Sabtu-Minggu diliburkan," ujarnya.

Kinerja industri juga tertekan impor pakaian jadi. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor sebanyak 2,20 juta ton tekstil dan produk tekstil sepanjang 2021.  Jumlah ini meningkat 21,1% dibandingkan tahun sebelumnya yang sebanyak 1,82 juta ton.

Badai PHK ancam industri tekstil

Jika permintaan industri tekstil terus turun, Jemmy mengatakan, tidak menutup kemungkinan akan ada pengurangan jam kerja. Bahkan tidak mungkin pengusaha akan mengambil langkah PHK.

Sebelumnya, Kamar Dagang Industri memperkirakan  sektor padat karya akan banyak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagaimana sektor start up. Hal itu didorong ancaman resesi tahun depan sehingga permintaan berkurang.  

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta Kamdani, mengatakan pelaku usaha berupaya untuk mempertahankan karyawannya. Namun hal itu saat ini sulit dilakukan karena permintaan  menurun signifikan.

“Jadi padat karya untuk dipertahankan karyawannya itu sulit. Bahkan mereka berupaya untuk tidak melakukan PHK, tapi sekali lagi ini sulit karena permintaan dan pasarnya menurun signifikan, jadi mereka banyak melakukan efisiensi,” ucapnya dikutip dari Antara, Rabu (26/10).

Reporter: Nadya Zahira