Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Namun pengusaha keberatan atas poin upah minimum dan tenaga alih daya yang diatur dalam Perppu tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B Sukamdani khawatir dengan formula penghitungan Upah Minimum (UM) yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Ia mengatakan hal tersebut bisa memberatkan dunia usaha.
Hariyadi lalu membandingkan formulasi upah dalam UU Cipta Kerja yang hanya mencakup satu variabel yaitu pertumbuhan ekonomi atau inflasi. "Justru ini sebetulnya malah akan menyusutkan tenaga kerja," ujar Hariyadi dalam konferensi pers di Kantor Apindo, Jakarta, Selasa (3/1).
Anggota Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Apindo, Susanto Haryono khawatir formula baru upah minimum pada Perppu Cipta Kerja akan meningkatkan angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah juga menambahkan pasal baru pada Perppu Cipta Kerja tersebut yakni pasal 88F. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pemerintah dapat menetapkan formula upah minimum yang berbeda dengan formula yang ditetapkan pada pasal 88D, jika dalam keadaan tertentu.
"Jangan sampai menggebu-gebu hanya diupah minimum untuk mendongkrak daya beli dan lain sebagainya,” ujar Susanto.
Susanto menjelaskan, dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), daya serap pekerja turun dalam tujuh tahun terakhir. Maka ia beranggapan kebijakan kenaikan UM berdasar formula Perppu akan semakin membebani dunia usaha.
“Proyeksi yang dilakukan Apindo dengan mengolah dari berbagai sumber menunjukkan bahwa di tahun 2025 upah minimum di Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN,” ujar Susanto.
Apindo juga menyoroti perubahan aturan alih daya yang masuk dalam Pasal 64. Hariyadi mengatakan pasal tersebut sebelumnya telah dihapuskan dalam UU Cipta Kerja, namun muncul kembali dalam Perppu.
Pasal 64 berbunyi perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya kepada perusahaan lain. Namun ayat (2) pasal tersebut berbunyi pemerintah bisa menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan alih daya.
Kemungkinan adanya pengaturan pekerja alih daya oleh pemerintah ini menjadi sorotan Apindo. "Kami khawatir ini kembali ke spirit UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan,” ujar Hariyadi.