Kementerian Perdagangan atau Kemendag telah melakukan pertemuan dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau dan 15 produsen minyak goreng pada Kamis (11/5). Pertemuan ini bertujuan untuk membahas solusi terkait hutang rafaksi minyak goreng sebesar Rp 344 miliar.
Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia atau Aprindo, Roy Nicholas Mandey, mengatakan, pertemuan tersebut tidak menghasilkan titik terang karena Kemendag belum memberikan kepastian untuk membayar utang rafaksi tersebut.
Roy mengatakan, Kemendag saat ini sedang melakukan verifikasi data untuk mengecek apakah benar utang yang harus dibayarkan kepada produsen/distributor minyak goreng dan pelaku usaha ritel modern sebesar Rp 1,1 triliun. Selain itu, Kemendag juga masih menunggu pendapat hukum dari Kejaksaan Agung.
"Pertemuan tadi belum ada titik terangnya, karena belum ada penyelesaian dan kejelasan mengenai pembayaran utang itu. Kalau sudah ada pembayaran baru bisa kita bilang sudah ada titik terangnya," ujar Roy saat ditemui awak media di Kantor Kemendag, Jakarta, Kamis (10/5).
Dia mengatakan, pihaknya bersama produsen minyak goreng tidak akan tinggal diam jika nantinya utang rafaksi tersebut dibayar tidak sesuai dengan jumlah yang sudah ditentukan.
"Misal hanya berapa persen yang akan diganti dari hasil verifikasi itu, nanti ada reaksi lagi dari anggota kami untuk menyuarakan mengapa hanya sekian," kata dia.
Roy merasa kecewa dengan sikap Kemendag yang tidak cepat dalam menyelesaikan permasalahan utang rafaksi minyak goreng ini. Pasalnya, sampai saat ini Kejaksaan Agung belum memberikan hasil pendapat hukumnya.
Hal itu menyebabkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS belum bisa membayarkan utang kepada produsen minyak goreng dan pengusaha ritel lantaran belum adanya payung hukum.
"Pendapat hukum itu kan nantinya akan digunakan oleh Kemendag untuk meminta BPDPKS membayarkan utangnya ke produsen untuk kemudian diberikan ke peritel. Pertanyaannya adalah, kapan pendapat hukum itu selesai?," tegas Roy.
Dia berharap, permasalahan ini bisa diselesaikan dengan baik karena kasus ini sudah terjadi selama satu tahun tiga bulan. Jika pemerintah tidak membayar utang tersebut, maka pihaknya bersama produsen akan menggugat Kemendag ke Peradilan Tata Usaha Negara atau PTUN.
Rencana Boikot Minyak Goreng
Disisi lain, Roy mengungkapkan pihaknya belum merealisasikan opsi penghentian penjualan minyak goreng di 48 ribu ritel yang tergabung dalam organisasinya. Dia mengatakan, hal itu akan terjadi jika Kemendag tidak membayar utang tersebut hingga Agustus 2023, seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya.
Untuk diketahui, utang tersebut merupakan selisih pembayaran yang dijanjikan Kemendag atas kebijakan minyak goreng satu harga pada 19-31 Januari 2022. Kebijakan tersebut ditetapkan karena harga minyak goreng yang tinggi dan jauh di atas Harga Eceran Tetap (HET).
Kebijakan minyak goreng satu harga diatur dalam Permendag 3/2022 tentang minyak goreng satu harga pada kemasan premium, sederhana, dan curah sebesar Rp 14.000 per liter. Namun, Permendag Nomor 3 Tahun 2022 itu telah dicabut dan diganti dengan Permendag Nomor 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.