Presiden Joko Widodo memberikan arahan khusus kepada otoritas perdagangan dalam negeri untuk memisahkan fungsi media sosial dan social commerce. Menurut Jokowi pemerintah menghendaki social commerce hanya boleh melakukan promosi barang dan jasa layaknya iklan produk yang kerap tayang di televisi tanpa adanya mekanisme maupun fitur yang mengakomodir transaksi jual-beli langsung terhadap komoditas tertentu.
Hal tersebut disampaikan oleh Jokowi saat memimpin rapat internal kabinet terkait kebijakan pengaturan perniagaan elektronik di Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin (25/9). Rapat dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Teten Masduki, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi dan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej.
Teten Masduki mengatakan bahwa mekanisme perdagangan lewat social commerce memunculkan produk murah yang dijual di platform global. Mekanisme tersebut berdampak negatif pada penjualan pada sektor retail maupun pusat grosir domestik.
“Pemerintah sedang mengatur perdagangan yang adil antara offline dan online, karena di offline diatur sedemikian ketat sementara di online masih bebas,” kata Teten di Istana Merdeka usai mengikuti rapat dengan Jokowi.
Teten melanjutkan, platform social commerce yang ingin melangsungkan transaksi jual-beli langsung harus membuat aplikasi terpisah untuk kegiatan perdagangan online. “Sudah clear, arahan presiden social commerce harus dipisah dengan e-commerce. Dan ini sudah banyak platform social commerce antre ingin punya aplikasi transaksi,” ujar Teten.
Permendag Atur Perdagangan di Medsos
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau Zulhas menyebut dirinya segera merampungkan revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 tahun 2020 pada hari ini. Pengesahan regulasi itu merupakan langkah pemerintah untuk mengatur mekanisme perdagangan online melalui aplikasi media sosial atau social commerce TikTok Shop.
"Sudah diputuskan hari ini, sore, saya tandatangani revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 menjadi permendag tahun 2023," kata Zulkifli.
Mendag menjelaskan revisi Permendag 50 tahun 2020 bakal melarang keberadaan social commerce untuk menjual produk melalui mekanisme transaksi langsung. Hasil revisi Permendag itu nantinya mengatur social commerce hanya memfasilitasi kegiatan promosi barang atau jasa sekaligus melarang kegiatan transaksi jual beli secara langsung. Regulasi anyar itu juga mewajibkan pemisahan antara fungsi platform e-commerce dan media sosial
"Media sosial tidak ada kaitannya, tidak boleh transaksi dan bayar langsung. Jadi harus dipisah sehingga algoritmanya tidak semua dikuasai dan mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis," ujar Zulkifli lagi.
Lebih lanjut, dia menjelaskan revisi Permendag 50 tahun 2020 juga mengatur mekanisme sanksi bagi platform e-commerce yang masih terintegrasi dengan layanan media sosial-nya. Penalti yang dibebankan kepada pelanggar dilakukan secara bertahap melalui peringatan hingga penutupan platform media sosial.
Ketetapan itu disebut bakal mempertegas posisi platform media sosial sebagai sarana bersosialisasi, bukan sebagai produsen barang dan jasa. "Kalau ada yang melanggar, maka dalam seminggu ini tentu surat saya ke Kominfo untuk memperingatkan, habis diperingatkan kemudian ditutup," ujar Zulhas.
Adapun Permendag Nomor 50 tahun 2020 mengatur perizinan usaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui elektronik atau PPMSE. Revisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 juga menyasar pada upaya untuk mengantisipasi dampak Project S Tiktok yang dapat mematikan produk UMKM di platform social commerce.
Pertimbangan untuk revisi Permendag tersebut adalah praktek perdagangan cross border melalui pasar daring dan media sosial. Perdagangan cross border adalah perdagangan langsung antara penjual di luar negeri dengan pembeli di dalam negeri.
Revisi regulasi itu juga mengatur batas minimal US$ 100 untuk sekali transaksi produk impor. Hal itu bertujuan untuk memberikan proteksi agar barang impor murah tidak menyerbu pasar dalam negeri. Kendati demikian, ujar Zulhas, pemerintah masih mengatur produk-produk tertentu yang bakal dikenakan batas minimal US$ 100 untuk sekali transaksi produk impor atau positive list.