Biaya Produksi Naik, Petani Ajukan Kenaikan HPP Gabah jadi Rp 7.000/Kg

ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww.
Ilustrasi. Badan Pangan Nasional menetapkan HPP GKP sebesar Rp 5.000 per kg pada 2023.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
19/1/2024, 16.06 WIB

Serikat Petani Indonesia atau SPI berencana mengajukan kenaikan Harga Pokok Penjualan Gabah Kering Panen menjadi Rp 7.000 per kg. Petani menghitung biaya produksi kini telah naik menjadi sekitar Rp 6.000 per kg.

Badan Pangan Nasional pada tahun lalu menetapkan HPP GKP adalah Rp 5.000 per kg. Ketua Departemen Polhukam SPI Angga Hermanda mengatakan, angka tersebut sebenarnya lebih rendah dari usulan petani senilai Rp 5.600 per kg.

Meski HPP GKP di bawah usulan, Angga menilai angka tersebut masih di atas biaya produksi. Namun Angga menekankan pengajuan HPP GKP petani tersebut dilakukan pada April 2023.

"Menurut SPI, dengan kenaikan biaya produksi saat ini, inflasi, dan faktor lainnya, kami akan mendesak HPP yang ideal senilai Rp 7.000 per kg," kata Angga di Gerbang Kementerian Pertanian, Jumat (19/1).

Angga mencatat, kenaikan  HPP GKP penting agar Perum Bulog dapat menyerap GKP lokal. Untuk diketahui, HPP berfungsi agar Bulog dapat menyerap GKP petani dengan harga ideal saat harga GKP di pasar lebih rendah dari biaya produksi.

Menurut dia, GKP saat ini dilego antara Rp 7.000 sampai Rp 8.600 per kg. Oleh karena itu, Bulog tidak bisa menyerap GKP lokal lantaran harga pasar jauh di atas HPP beras pemerintah.

Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Bapanas I Gusti Ketut Astawa mengatakan kondisi harga GKP saat ini terjadi karena produksi padi yang tidak optimal. Ketut menilai pemerintah harus melakukan kajian dan berdiskusi dengan pemangku kepentingan terkait penyesuaian HPP.

Menurut dia, peningkatan nilai HPP berpotensi mengungkit harga beras di tingkat konsumen lebih jauh lagi. Ini karena Bulog menjadi acuan pedagang beras di dalam negeri dalam menentukan harga pembelian.

"Kalau produksi beras nasional optimal, tidak mungkin seperti ini kondisi harga beras," ujarnya.

Ketut menekankan, pemangku kepentingan harus mencari keseimbangan harga beras yang wajar. Keseimbangan tersebut adalah harga beras yang murah bagi konsumen dan harga gabah yang tinggi bagi petani.

Ia menilai harga GKP di pasar saat ini yang mencapai Rp 8.600 per kg terlampau tinggi. Ketut mengakui harga tersebut membuat petani padi nyaman, namun konsumen telah berteriak terkait tingginya harga beras di pasar.

Oleh karena itu, Ketut mengatakan, solusi untuk masalah keseimbangan harga saat ini adalah importasi beras yang terukur. Menurutnya, hal tersebut penting untuk menekan potensi pertumbuhan harga beras akibat defisit neraca beras pada Januari-Februari 2024.

Bapanas mendata, tingkat konsumsi bulanan beras secara nasional adalah 2,54 juta ton. Sementara itu, produksi beras pada Januari 2024 diproyeksikan hanya 930.000 ton susut 30,59% secara tahunan. Demikian pula  pada Februari 2024 yang diperkirakan hanya 1,32 juta ton atau anjlok 53,68% secara tahunan.

Dengan demikian, total produksi beras Januari-Februari 2023 hanay 2,25 juta ton, sedangkan konsumsi nasional mencapai 5,08 juta ton. Di sisi lain, surplus beras sepanjang 2023 hanya 270.000 ton.

Ketut menyatakan, impor beras sejumlah 2,5 juta ton yang ditargetkan tiba awal tahun ini akan dijadikan Cadangan Beras Pemerintah. Menurutnya, beras tersebut pada akhirnya akan menjadi instrumen pemerintah dalam mengendalikan harga beras di tingkat konsumen melalui program Bantuan Pangan.

Ia menilai strategi tersebut berhasil lantaran berhasil menekan pertumbuhan harga beras pada Mei-Juli 2023 dan pada kuartal akhir tahun lalu.

Berdasarkan data Bapanas, inflasi beras pada Mei-Juli 2023 naik kurang dari satu persen. Namun, inflasi beras melonjak hingga 5,61% per September saat program bantuan pangan dihentikan pada Agustus 2023. Inflasi beras kembali melemah hingga di bawah satu persen pada November 2023 saat bantuan pangan kembali diberlakukan pada September 2023.

Reporter: Andi M. Arief