Angka PMI Manufaktur Ekspansif, Apindo Waspadai Penurunan Permintaan

ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nz.
Sejumlah pekerja menyelesaikan pembuatan pakaian di salah satu pabrik garmen di Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (15/1/2023).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Sorta Tobing
1/2/2024, 17.41 WIB

S&P Global mendata indeks manajer pembelian atau PMI manufaktur Indonesia kembali ekspansif pada Januari 2024 menjadi 52,9 poin. Walau demikian, Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo menilai ketidakpastian dunia usaha pada tahun ini masih tinggi.

Sebagai informasi, PMI merupakan indeks yang menggambarkan kondisi sektor manufaktur sebuah negara. Apabila dalam kondisi kontraktif, angkanya di bawah 50,0 poin. Kondisinya dapat menjadi apabila angka indeksnya di atas 50,0 poin.

PMI Indonesia per Januari naik dari posisi akhir 2023 sebesar 52,2 poin. Dengan kata lain, performanya terus membaik sejak Agustus 2023 dan konsisten dalam posisi ekspansif selama 29 bulan berturut-turut.

"Pertumbuhan permintaan baru lebih cepat ditambah kondisi pasokan yang lebih baik mendorong produksi manufaktur berekspansi pada laju tercepat dalam dua tahun terakhir," kata Economics Associate Director S&P GLobal Market Intelligence Jingyi Pan dalam keterangan resmi, Kamis (1/2).

Namun, Pan menemukan optimisme bisnis di sektor manufaktur sedikit turun pada bulan lalu. Perbaikan ekspor akan menjadi fokus para pelaku industri dalam beberapa bulan mendatang untuk memastikan apakah kenaikan permintaan tentatif atau tidak.

Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan pemerintah harus mengantisipasi ketidakpastian dunia usaha tahun ini untuk menjaga performa PMI. Sebab, Shinta memproyeksikan performa ekspor tahun ini sulit ditingkatkan lantaran perekonomian di negara tujuan ekspor utama menurun.

Negara tujuan ekspor yang ia maksud adalah Cina dan Amerika Serikat. S&P Global melaporkan PMI Cina per Januari 2024 tidak berubah dari bulan sebelumnya atau sebesar 50,8 poin. Sedangkan, rasio utang terhadap produk domestik bruto di AS telah menembus 100%.

"Prinsipnya, menurut saya, ekspor akan tetap berat karena porsi ekspor ke negara-negara tradisional lagi masalah. Kami sudah lihat dari data yang ada dan kami harus melakukan sesuatu," kata Shinta di kantornya, Jakarta, Kamis (1/2).

Ia berpendapat pemerintah tidak dapat bekerja seperti dalam kondisi normal. Salah satu kebijakan yang dapat menghambat performa manufaktur adalah pembatasan impor.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023 yang mengembalikan pemeriksaan dari post-border menjadi border dapat menghambat. Sebab, sebagian produsen hanya memiliki izin angka pengenal impor umum yang kuota impor bahan bakunya dibatasi dengan aturan tersebut.

"Kalau kami tidak bisa impor bahan baku dan penolong, produksi kami akan terkendala," ujarnya.

Karena itu, ada dua ancaman bagi sektor manufaktur, yakni penurunan permintaan dan peningkatan biaya produksi. Dampaknya, pabrikan akan melakukan efisiensi pada proses produksinya, salah satunya ke tenaga kerja.

Efisiensi dari sisi tenaga kerja merupakan salah satu rencana sebagian perusahaan dalam jangka panjang. Sebab, pengembangan teknologi dan digitalisasi produksi pada akhirnya akan mengurangi jumlah tenaga kerja dan mengubah jenis pekerjaan di sektor manufaktur.

"Akan banyak tenaga kerja yang tidak lagi dibutuhkan. Kalau dari segi biaya produksi bisa dikurangi, biaya tenaga kerja jadi salah satu yang paling tinggi biasanya di perusahaan," katanya.

Reporter: Andi M. Arief