Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia atau Gapki menyatakan program biodiesel saat ini sudah optimum jika dibandingkan dengan tingkat produksi minyak sawit mentah atau CPO.
Seperti diketahui, program biodiesel saat ini adalah mencampurkan 35% fatty acid methyl ester dalam solar atau B35. Namun presiden terpilih Prabowo Subianto berniat untuk meningkatkan program biodiesel saat ini menjadi B50 sampai 2042.
Langkah tersebut dinilai akan kontraproduktif pada program biodiesel dalam negeri. Ketua Umum Gapki Eddy Martono bahkan berharap kebijakan baru pemerintah jangan sampai merugikan industri CPO.
"Saya melihat program B35 ini sudah oke dengan kondisi produksi saat ini. Kalau untuk ke B40 harus dilihat lagi, apalagi ke B50," kata Eddy Martono dalam Halal Bihalal Gapki di Jakarta, Selasa (30/4).
Berdasarkan data Gapki, program B35 akan membuat 10,64 juta ton CPO harus dikonsumsi di dalam negeri dan diubah menjadi FAME. Angka tersebut bisa naik hingga 14 juta ton jika program B35 menjadi B40.
Eddy berpendapat, program B35 menjadi B40 akan mengurangi volume ekspor CPO. Di sisi lain, Eddy memperkirakan, volume produksi CPO akan stabil hingga 50 juta ton dalam beberapa tahun.
Gapki mendata produksi CPO pada 2023 mencapai 50,06 juta ton, sementara produksi CPKO mencapai 4,77 juta ton. Sementara itu, total ekspor CPO sepanjang tahun lalu mencapai 32,21 juta ton.
Implementasi B40 akan Kerek Harga CPO
Eddy menilai implementasi program B40 akan mengubah volume ekspor CPO menjadi hanya 25 juta ton. Kondisi tersebut pada akhirnya akan memicu kenaikan harga CPO di pasar ekspor, mengingat 60% CPO di pasar ekspor dipasok oleh Indonesia.
Pada akhirnya, kenaikan harga CPO di pasar ekspor akan tertransmisikan ke harga produk turunan CPO di dalam negeri. Alhasil, kondisi tingginya harga minyak goreng pada 2022 akan membuat harga CPO global naik kembali.
"Jangan sampai seperti saat harga produk CPO lokal naik pada saat program B40 dilakukan. Produsen CPO akhirnya kembali dikenakan kebijakan yang tidak kondusif. B40 bagus, tapi jika tidak dilihat secara komprehensif akan menaikkan harga minyak nabati dunia," katanya.
Permintaan Minyak Sawit Naik
Greenpeace memprediksi adanya peningkatan signifikan permintaan minyak sawit untuk konsumsi Indonesia dari 2023 hingga 2042. Untuk memenuhi permintaan tersebut, dibutuhkan minyak sawit mencapai 67,1 juta ton pada skenario pertama.
Akan tetapi, implementasi program B50 membutuhkan setidaknya 75 juta ton minyak sawit di dalam negeri. Kenaikan permintaan ini juga berdampak kepada kebutuhan untuk memperluas kebun sawit.
“Dalam skema ini kebutuhan untuk peningkatan permintaan pada skema 2042 mencapai 23 juta hektar,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Iqbal Damanik.
Iqbal mengatakan, saat ini sudah ada sekitar 16 juta hektar lahan sawit. Dengan begitu, masih memerlukan sekitar 7 juta hektar lahan baru untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak sawit.
Padahal, saat ini hanya tersisa 3,4 juta hektar hutan alam yang tersisa di dalam konsesi sawit, di mana hutan yang tersisa berada di Kalimantan dan Papua.
Rencana untuk terus menaikkan tingkat campuran biodiesel akan meningkatkan kebutuhan ekspansi lahan kebun sawit secara signifikan. Dengan arah pengaturan perlindungan hutan yang ada, hutan alam tersebut mungkin akan lenyap dalam beberapa 2 dekade mendatang.