Obligasi BUMN Paling Terpukul di Asia, Investor Waswas Risiko Utang RI

Fauza Syahputra|Katadata
Ilustrasi.
Penulis: Agustiyanti
24/6/2024, 14.42 WIB

Obligasi dolar milik Badan Usaha Milik Negara menjadi yang paling tertekan di Asia selama dua minggu terakhir seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap utang pemerintah. Perusahaan-perusahaan BUMN menghadapi jatuh tempo mencapai $6 miliar hingga akhir tahun 2025.

Berdasarkan data yang dikumpulkan Bloomberg, enam dari 10 obligasi BUMN mengalami penurunan terbesar di pasar obligasi Asia di luar dolar Jepang pada periode tersebut adalah milik PT PLN.  Premi imbal hasil atau yield premium pada beberapa surat utang perusahaan negara lainnya PT Pertamina dan PT Hutama Karya juga naik ke level tertinggi dalam tiga bulan.

Rata-rata selisih surat utang korporasi dan quasi-sovereign telah meningkat enam basis poin pada bulan Juni, yang terbesar dalam lima bulan terakhir. Ini terjadi setelah kabar bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana menaikkan rasio utang negara untuk mendanai janji-janji belanjanya.

Nilai tukar rupiah mencapai titik terendah baru dalam empat tahun terakhir pada akhir pekan lalu, sehingga membuat perusahaan lokal lebih mahal untuk membayar utang dolar mereka.

“Ketatnya selisih kredit secara umum saat ini memberikan sedikit ruang bagi volatilitas suku bunga atau perubahan buruk dalam persepsi risiko, sementara pelemahan rupiah tentu berdampak buruk bagi pembayaran utang luar negeri di masa depan,” kata Ting Meng, ahli strategi kredit senior Asia di Australia & Grup Perbankan Selandia Baru Ltd.

Selisih kurs yang jatuh tempo pada bulan Juni 2050, Mei 2048, dan Juli 2049 melonjak ke level tertinggi dalam tiga bulan pada minggu lalu. Premi imbal hasil obligasi mata uang AS dari Pertamina yang jatuh tempo pada Februari 2060 mencapai level tertinggi sejak Maret.

Surat utang kuasi-negara ini memiliki peringkat tertinggi di antara obligasi negara karena hubungannya dengan peringkat negara pemerintah. Selisih yang semakin melebar berarti emiten dengan peringkat lebih rendah harus menawarkan premi imbal hasil yang lebih tinggi pada obligasi baru.

Hal ini kemungkinan akan meningkatkan biaya refinancing (pembiayaan kembali) utang korporasi BUMN. Lebih dari US$6 miliar surat utang dalam dolar AS akan jatuh tempo hingga akhir tahun 2025, lebih besar dibandingkan negara-negara lain di Malaysia, Thailand, dan Filipina.

“Selisih kredit yang lebih luas disebabkan oleh kekhawatiran baru mengenai kebijakan fiskal, yang berdampak pada sentimen luas terhadap aset-aset berisiko di Indonesia,” kata Winson Phoon, kepala penelitian pendapatan tetap di Maybank Securities Pte di Singapura.