Industri Keramik Dukung Kebijakan DMO Gas: Bisa Dorong Produksi

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/aww.
Ilustrasi. Kebijakan DMO gas diperkirakan membuat utilisasi industri keramik nasional dapat pulih ke rentang 75% sampai 80% pada tahun ini.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
12/7/2024, 14.33 WIB

Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia atau Asaki mendorong pemerintah menerapkan aturan kewajiban pasar domestik atau DMO produksi gas pada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Energi Nasional. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengusulkan agar 60% produksi gas di dalam negeri wajib dipasarkan di dalam negeri dengan harga US$ 6 per MMBTU.

Ketua Umum Asaki Edy Suyanto mengatakan, kebijakan DMO gas akan membuat utilisasi industri keramik nasional dapat pulih ke rentang 75% sampai 80% pada tahun ini. Angka tersebut diproyeksi meningkat dengan kebijakan DMO menjadi 90% pada tahun depan.

"Dengan catatan Harga Gas Bumi Tertentu untuk sektor manufaktur diimplementasikan dengan benar tanpa kebijakan alokasi gas untuk industri tertentu dari PT Perusahaan Gas Negara," kata Edy kepada Katadata.co.id, Jumat (12/7).

Edy menegaskan, proyeksi peningkatan utilisasi industri keramik hanya dapat terjadi jika HGBT untuk industri US$ 6 per MMBTU. Edy menyatakan harga gas yang diterima mayoritas industri keramik saat ini rata-rata US$ 6,5 per MMBTU.

Peningkatan harga gas diperburuk dengan implementasi Alokasi Gas untuk Industri Tertentu atau AGIT oleh PGN. Industri keramik di Pulau Jawa bagian timur terkena kebijakan AGIT sejak 2021, sedangkan industri keramik di Jawa Barat sejak tahun lalu.

Edy menilai, kebijakan DMO memberikan industri keramik yang baru berdiri mendapatkan gas dengan HGBT. Dengan demikian, industri keramik nasional dapat lebih agresif menyasar pasar global, khususnya di kawasan Asia Pasifik.

Peningkatan daya saing akibat kebijakan DMO dinilai dapat meningkatkan konsumsi keramik di dalam negeri. Namun Edy mengingatkan bahwa kebijakan DMO harus dibarengi dengan implementasi Bea Masuk Anti Dumping terhadap keramik impor, khususnya dari Cina.

Ia mencatat konsumsi keramik per kapita nasional saat ini di bawah rata-rata global ata hanya 2,3 meter persegi. Adapun konsumsi keramik per kapita global mencapai 2,5 meter persegi. "Konsumsi keramik per kapita negara-negara seperti Malaysia dan Thailand sudah sebesar 3 meter persegi, bahkan Vietnam sudah 5 meter persegi," katanya.

Edy sebelumnya mengatakan, keramik dari Cina terbukti melakukan praktik dumping di pasar domestik. Dengan kata lain, harga keramik dari Negeri Panda terbukti jauh lebih rendah dengan tujuan melemahkan industri keramik nasional dan menguasai pasar keramik di Indonesia.

Bukti itu tercantum dalam surat hasil penyelidikan Komisi Anti Dumping Indonesia (KADI) beberapa waktu lalu. Dalam surat yang diterima Asaki tertulis, produk keramik Cina melakukan dumping antara 100,12% sampai 199,88% dari harga normal.

Harga keramik impor dari Tiongkok lebih murah hingga dua kali lipat dari harga sebenarnya. Praktik curang ini telah menggerus industri keramik nasional hingga menyebabkan penurunan kapasitas produksi dan laba.  

Asaki mendata utilisasi industri keramik pada paruh pertama tahun ini hanya 63%. Angka tersebut lebih rendah dari capaian Januari hingga Juni 2023 sebesar 69%.

"Kami tidak anti dan tidak melarang impor keramik dari Cina tapi kami melawan praktik unfair trade, yakni tindakan dumping yang disertai predatory pricing," kata Edy.

Reporter: Andi M. Arief