Buruh soal 53 Ribu Orang Kena PHK hingga September: Itu Baru yang Tercatat

ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/aww.
Sejumlah buruh industri tekstil berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (27/6/2024).
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
1/10/2024, 11.10 WIB

Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara atau KSPN menilai angka Pemutusan Hubungan Kerja pada Januari-September 2024 lebih lebih besar dari data pemerintah. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, hampir 53.000 orang terkena PHK. 

Kementerian Ketenagakerjaan mendata tenaga kerja yang terkena PHK hingga 26 September 2024 mencapai 52.993 orang. Sebanyak 45,31% atau 24.013 tenaga kerja berasal dari industri pengolahan.

"Saya meyakini data PHK di lapangan jauh lebih besar dari yang dimasukkan Kemenaker. Dari industri tekstil dan produk tekstil saja bisa tembus 50.000 orang pada Januari-September 2024," kata Presiden KSPN Ristadi kepada Katadata.co.id, Selasa (1/10).

PHK paling banyak terjadi di Jawa Tengah mencapai 14.767 orang. Angka tersebut diikuti oleh Banten sejumlah 9.114 orang dan DKI Jakarta sebanyak 7.469 orang.

Ristadi menjelaskan, angka PHK berpotensi jauh lebih besar lantaran pemerintah hanya mencatat PHK yang telah dilaporkan. Menurutnya, sebagian besar pabrik tidak akan melaporkan PHK jika tidak ada perselisihan antara manajemen dan tenaga kerja.

Ia menilai kemudahan impor sejak tahun 2000-an menjadi penyebab PHK marak terjadi. Keputusan PHK diambil lantaran pabrikan terpaksa menghentikan produksi setelah pasar domestik dipenuhi barang impor.

Menurutnya, kondisi tersebut disebabkan oleh harga produk industri pengolahan lokal yang tidak kompetitif dengan barang impor di pasar domestik. Kondisi ini diperburuk dengan karakter konsumen nasional yang sensitif dengan harga.

Ristadi mencatat, ada tujuh subsektor manufaktur yang paling terdampak dari maraknya barang impor di pasar lokal, yakni tekstil, keramik, alas kaki, pakaian jadi, kosmetika, elektronika, dan pakaian jadi lainnya. Karena itu, pemerintah meluncurkan Satuan Tugas Pengawasan Barang Tertentu atau Impor Ilegal.

"Sektor-sektor tersebut diawasi karena pemerintah tahu produk-produk lokal kalah bersaing. Secara harga, produk lokal memang kalah bersaing dengan produk-produk dari Cina," katanya.

Ristadi menilai, pandemi Covid-19 telah memperburuk kondisi pasar eksisting yang telah dibanjiri produk impor. Sebab, Ristadi menduga produk impor yang kini ada di pasar bukan hasil importasi tahun ini.

Sementara itu, barang yang diimpor pada tahun ini tidak langsung dijual di pasar dan mengendap di kawasan pergudang. Menurutnya, praktik tersebut dipilih agar arus produk impor di pasar lokal tidak terputus.

"Kondisi ini terjadi di banyak subsektor manufaktur dan kami sudah kalang kabut menghadapinya, terutama barang impor dari Cina," ujarnya.

Reporter: Andi M. Arief