Pemerintah tidak akan menggunakan anggaran negara untuk menyelamatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk dari kebangkrutan. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengatakan hanya ada dua opsi untuk Sritex, yaitu mediasi dan revisi kebijakan.
Opsi bailout tidak termasuk di dalamnya. "Saya menangkap di media seolah-olah pemerintah akan membantu Sritex. Rasanya tidak seperti itu," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Rabu (30/10).
Tujuan pemerintah saat ini adalah mencegah pemutusan hubungan kerja atau PHK karyawan pabrik tekstil tersebut. Untuk urusan hukum, Yassierli mengatakan, pemerintah tidak akan ikut campur.
Untuk opsi pertama, yaitu mediasi. Pemerintah berharap proses mediasi antara manajemen Sritex dan kurator Pengadilan Negeri Semarang dapat dipercepat.
Lalu, opsi kedua, pemerintah akan merivisi kebijakan yang melonggarkan barang impor ke dalam negeri. Aturan saat ini, menurut Yassierli, telah membuka keran impor sehingga memukul industri tekstil domestik.
Kebijakan yang ia maksud adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang barang impor. Aturan ini terbit pada 17 Mei 2024 untuk mengatasi penumpukan puluhan ribu kontainer di Pelabuhan Tanjuk Priok, Jakarta, dan Tanjung Perak, Jawa Timur.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia berpendapat penerbitan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 telah memperburuk kondisi industri tekstil nasional. Aturan tersebut dinilai memperlancar modus impor borongan tekstil dan produk tekstil (TPT) oleh oknum petugas Bea Cukai.
Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta mengatakan, Permendag itu berhasil mengeluarkan produk mafia impor TPT yang selama ini tertahan di pelabuhan. "Kami bisa melihat dengan mata telanjang bagaimana banyak sekali oknum di Bea Cukai terlibat dan secara terang-terangan memainkan modus impor borongan," kata Redma pada 20 Juni 2024.