MK Sebut Kerja 6 Hari Seminggu dalam UU Cipta Kerja Bertentangan dengan UUD 1945
Mahkamah Konstitusi atau MK mengabulkan sebagian permohonan buruh dalam uji materi terkait Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satunya terkait kerja enam hari selama seminggu.
MK menyatakan Pasal 79 ayat 2 huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, yang menyebutkan istirahat minggguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu, bertentangan dengan UUD 1945.
“Dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu’,” demikian dikutip.
Selain itu, kata ‘dapat’ dalam Pasal 79 ayat 5 dalam Pasal 81 angka 25 UU Nomor 6 tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Aturan jam kerja sebelumnya dalam UU Cipta Kerja ditetapkan dua skema, sebagai berikut:
- Tujuh jam kerja dalam sehari atau 40 jam dalam seminggu yang berlaku untuk enam hari kerja dengan ketentuan libur sehari
- Delapan jam kerja dalam sehari atau 40 jam dalam satu minggu yang berlaku untuk 5 hari kerja dengan ketentuan libur dua hari
MK memutuskan untuk mengabulkan 21 gugatan buruh terkait UU Cipta Kerja, yang mencakup tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu atau PKWT, alih daya, waktu kerja, Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK hingga uang pesangon.
Pertimbangan hukum tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. MK menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja. Utamanya, norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah, baik berupa pasal dan ayat, yang sulit dipahami awam atau buruh.