Dampak Percepatan Program E10 di Tengah Minimnya Pasokan Etanol Domestik

ANTARA FOTO/Idhad Zakaria/bar
Petugas SPBU menunjukan contoh produk Pertamax Green 95 di SPBU 44.571.28 Pedaringan, Solo, Jawa Tengah, Senin (28/7/2025).Dari tujuh SPBU di Jateng dan DIY yang menjual Pertamax Green, Pertamina mencatat penjualan rata-rata mencapai 150 liter perhari di setiap SPBU yang menjual bahan bakar bensin dengan campuran lima persen bioetanol dari tebu dan menghasilkan nilai oktan RON 95 yang lebih ramah lingkungan tersebut.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Sorta Tobing
17/10/2025, 11.37 WIB

Pemerintah belum melakukan koordinasi yang jelas dengan pelaku industri etanol dan otomotif terkahit penerapan kewajiban atau mandatory E10. Padahal pemberlakuan aturan ini dipercepat dari 2027 menjadi 2026.

Program E10 nantinya mewajibkan produsen bahan bakar minyak atau BBM mencampurkan 10% etanol ke dalam produknya. Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan mengatakan percepatan program E10 akan meningkatkan perputaran uang di masyarakat.

"Artinya, seluruh tanah di dalam negeri tidak akan ada yang menganggur karena semua tanaman akan bernilai ekonomi. Masyarakat makin kreatif mengolah lahan dan industri pertanian nasional akan mengejar performa Cina dan Thailand," katanya di Indonesia Convention Exhibition BSD, Banten, Rabu (15/10).

Presiden, Zulhas mengatakan, memutuskan ada tiga bahan baku pembuatan etanol di dalam negeri, yakni jagung, singkong, dan tebu. Langkah ini juga akan seiring dengan penambahan fasilitas produksi etanol.

Pasokan Etanol Domestik Belum Siap

Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan langkah percepatan itu bertolak belakang dengan visi ketahanan energi. Pemerintah pada akhirnya akan bergantung pada impor etanol karena kapasitas produksi domestik masih rendah. 

"Untuk apa terburu-buru mandatory E10 sebelum punya pasokan etanol di dalam negeri?" kata Putra kepada Katadata.co.id, Kamis (16/10).

Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia atau Apsendo mendata kapasitas terpasang industri etanol saat ini hanya 303.325 kiloliter per tahun. Adapun total etanol yang dibutuhkan untuk mendukung E10 ke semua jenis bensin mencapai 3 juta kiloliter, sedangkan ke BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, sekitar 800 ribu kiloliter.

Di sisi lain, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia atau APTRI mendata produksi tebu nasional hanya mencapai sekitar 30 juta ton saat ini. Dengan demikian, rata-rata produksi molases yang menjadi bahan baku etanol pada 2022-2024 hanya sekitar 1,6 juta ton.

Berdasarkan paparan Apsendo, rasio produksi antara molases dan etanol adalah empat banding satu. Karena itu, total kebutuhan molases untuk mendukung program mandatory E10 ke seluruh bensin seharusnya mencapai 12 juta ton.

Putra bahkan menilai penerapan mandatory E10 pada 2027-2028 masih terlalu cepat. Sebab, ukuran industri etanol di dalam negeri perlu sama dengan industri sawit agar bisa berkelanjutan.

Dalam catatannya, program campuran minyak sawit mentah sebesar 40% dalam solar atau B40 saat ini bisa dilakukan akibat "subsidi" yang dilakukan oleh pabrik minyak sawit mentah atau CPO. Secara rinci, pemerintah menarik pungutan ekspor yang digunakan sebagai sumber dana untuk menambal selisih antara CPO dan solar.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mendata konsumsi CPO untuk industri biodiesel mencapai 11,44 juta ton pada tahun lalu. Pada saat yang sama, realisasi produksi CPO mencapai 48 juta ton yang membuat kebutuhan industri biodiesel sekitar seperempat dari total produksi.

Putra berpendapat program mandatory E10 baru dapat mereplikasi skema "subsidi" dalam program biosolar jika perbandingan antara kebutuhan E10 dan produksi gula mencapai satu banding empat. Idealnya produksi molases nasional harus mencapai 48 juta ton agar bisa berkelanjutan.

"Korporasi harus untung sebelum bisa mensubsidi molases yang dijual sebagai etanol, sama seperti kasus perusahaan sawit dalam biosolar. "Subsidi" untuk biosolar pun kadang defisit. Karena itu, sumber dana agar E10 berkelanjutan belum jelas sampai saat ini," katanya.

Pengamat otomotif Bebin Djuana mengatakan masyarakat saat ini tidak membutuhkan BBM E10. Sebab, bensin dengan campuran etanol umumnya menahan tenaga kuda kendaraan bermotor dan memiliki harga yang lebih mahal.

Ia juga menyampaikan industri gula nasional belum dapat menghasilkan volume etanol yang dibutuhkan untuk mendukung mandatory E10. Karena itu, Bebin menduga percepatan implementasi program tersebut dipicu akibat minimnya base fuel yang terjadi pada kuartal ketiga tahun ini.

"Saya menduga percepatan E10 ini untuk menghilangkan malu yang muncul dari minimnya pasokan bensin beberapa bulan lalu. Akhirnya program E10 dipaksakan. Jadi, intinya pemerintah mau menaikkan harga bahan bakar saat masyarakat tidak butuh E10," kata Bebin kepada Katadata.co.id.

Karena itu dinilai pemerintah tidak memiliki justifikasi yang cukup untuk mempercepat mandatory E10. Bebin mengaku dapat menerima penjelasan dan implementasi pemerintah saat program mandatory B30 dilaksanakan akibat kelebihan produksi CPIO.

Pemerintah telah melakukan tahapan uji coba dengan industri otomotif sebelum mandatory B30 diterapkan. "Beda cerita dengan Brasil yang meluncurkan program bioetanol karena kelebihan gula. Indonesia tidak kelebihan gula, tidak ada cerita untuk melakukan bioetanol," katanya.

Program E10 Sifatnya Harus Sukarela

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmi Rady berpendapat berbeda. Menurut dia, program E10 dapat dilakukan pada tahun depan. Namun program ini harus dilakukan secara sukarela seperti program E5 saat ini.

Untuk diketahui, Pertamax Green merupakn hasil program sukarela campuran 5% etanol atau E5 saat ini. Alhasil, bahan bakar tersebut kini hanya dijual di Pulau Jawa dengan harga Rp 13 ribu per liter, lebih tinggi dari harga Pertamax senilai Rp 12.500 per liter.

Fahmi menjelaskan penetapan program sukarela pada E10 penting agar tidak mendongkrak harga bahan bakar di dalam negeri. "Yang penting implementasi program E10 tidak mengandung 'pemaksaan' pada konsumen. Biarkan E10 menjadi varian bahan bakar baru di pasar," katanya.

Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza berencana mendorong industri etanol nasional untuk mendukung program mandatory E10 pada tahun depan. Faisol mensinyalir industri etanol di dalam negeri dapat memasok bahan baku untuk bensin nonsubsidi.

"Saya kira pelaku industri etanol sudah menunjukkan niat peningkatan produksi itu," kata Faisol di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Kamis (16/10).

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Andi M. Arief