Proyek DME Batu Bara Dimulai 2026, Sudah Siap Gantikan Peran LPG?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) akan dimulai pada tahun depan atau 2026. Proyek tersebut direncanakan akan menggunakan teknologi dari Cina atau Eropa.
"Dua saja kalau nggak Eropa, Cina," kata Bahlil dikutip dari Antara, Senin (27/10).
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan, Bisman Bhaktiar, mengatakan rencana pengembangan proyek DME pada 2026 kemungkinan besar bisa dilakukan. Namun, pengembangan DME tersebut belum mampu menggantikan peran liquified petroleum gas (LPG) pada 2026.
“Prospek DME memang cukup besar namun tantangannya juga sangat besar," kata Bisman saat dihubungi Katadata, Senin (27/10).
Dia mengatakan tantangan terbesar terutama dari aspek investasi yang membutuhkan modal yang sangat besar, serta aspek keekonomian yang juga masih perlu kajian lebih dalam.
"Apalagi jika diarahkan untuk menggantikan LPG maka harga produk DME tidak bisa kompetitif jika dibandingkan harga LPG hari ini,”
Selain investasi dan keekonomian, menurutnya proyek DME juga terkendala dari segi teknologi dan tenaga ahli yang sangat terbatas. Belum lagi jika membahas tentang keberhasilan DME yang akan sangat bergantung pada kebijakan dan subsidi Pemerintah.
Proyek DME sudah pernah dicanangkan dan dikembangkan sebelumnya oleh PT Bukit Asam dan perusahaan AS, Air Product. Namun kerja sama tersebut gagal karena Air Product memutuskan untuk hengkang dari proyek DME.
Bisman menyebut, zpersoalan investor yang datang dan kabur menyebabkan proyek DME pada akhirnya tertunda. “Proyek DME akan ideal jika ada investor besar yang serius masuk menjadi mitra dan didukung kebijakan serta subsidi Pemerintah, baik dalam konteks perencanaan dan awal pengembangan maupun saat nanti terkait dengan harga jual dan subsidi,” ujarnya.
Masuk Proyek Danantara
Bahlil menyampaikan proyek hilirisasi batu bara menjadi DME tersebut merupakan salah satu dari 18 proyek yang sudah diselesaikan konsep dan pre-feasibility study (pra-FS) atau studi awal kelayakan oleh Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional.
"Sekarang, dari pra-FS itu dipelajari oleh konsultan untuk finalisasi di Danantara," ujarnya.
Bahlil menyatakan proyek hilirisasi batu bara tersebut bertujuan untuk mengurangi impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Saat ini, total kebutuhan LPG nasional mencapai 8,5 juta ton namun hanya mampu dipenuhi secara domestik sebanyak 1,3 juta ton. Sehingga memerlukan impor hingga 7 juta ton.
Sebelumnya Bahlil menyatakan produksi LPG di dalam negeri masih terbatas karena perbedaan karakteristik gas.
"Kenapa kita tidak bisa membangun industri LPG dalam negeri? Karena posisi gas kita itu kapasitas kualitasnya itu C1, C2, sementara untuk LPG itu C3, C4," kata Bahlil.
Sebagai solusi, pemerintah mendorong hilirisasi batu bara menjadi DME, yang dapat digunakan sebagai bahan substitusi LPG. Proyek ini dinilai memiliki potensi ekonomi besar karena harga DME lebih murah dibandingkan LPG impor.
"DME ini adalah hilirisasi dari batu bara dengan menggunakan low calorie dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan dengan LPG," ujar Bahlil.