Bangkitkan Amerika, Trump Butuh Rp 13.400 Triliun buat Infrastruktur

REUTERS/Kevin Lamarque/ANTARA FOTO
1/3/2017, 16.28 WIB

Arah kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump semakin jelas. Saat berpidato pertamanya di hadapan Kongres (AS), Selasa waktu setempat (28/2), Trump menekankan keinginannya memperoleh dana jumbo untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Awalnya, Trump menyindir pemerintahan terdahulu yang mengeluarkan dana hingga US$ 6 triliun untuk berbagai operasi keamanan di Timur Tengah. Padahal, kondisi infrastruktur dalam negeri Amerika malah hancur. Ia mengatakan, dengan dana sebesar itu, seharusnya pemerintah bisa melakukan pembangunan hingga dua kali lipat.

“Atau bahkan tiga kali lipat, jika pemerintah memiliki kemampuan bernegosiasi,” kata Trump seperti dilansir The New York Times,. (Baca: Butuh Rp 287 T, Tembok Perbatasan Meksiko di Luar Perkiraan Trump)

Kini, untuk membangkitkan kembali Amerika, Trump mencanangkan pembangunan infrastruktur di seluruh negeri. Untuk membiayai rencana tersebut, dia akan meminta Kongres meloloskan peraturan yang memudahkan investasi senilai US$ 1 triliun atau setara Rp 13.400 triliun di sektor infrastruktur.

Kelak, pendanaan tersebut diperoleh dari anggaran negara dan partisipasi swasta. Trump menargetkan pembukaan jutaan lapangan pekerjaan baru lewat investasi di sektor tersebut.

Ia optimistis industri-industri yang saat ini sekarat, akan kembali hidup. Trump menjanjikan pembangunan jalan, jembatan, terowongan, bandara, serta rel kereta baru untuk menggantikan infrastruktur yang sudah usang.

Di sisi lain, Trump mengklaim sejumlah keberhasilan kebijakannya setelah menjadi Presiden AS selama lebih satu bulan. Ia menyebut, perusahaan-perusahaan besar termasuk Ford, Fiat-Chrysler, General Motors, Intel, Walmart, dan Softbank memutuskan menggelontorkan miliaran dolar untuk berinvestasi di dalam negeri. Langkah itu diramalkan mampu membuka puluhan ribu lapangan kerja baru.

Trump juga menyebut pasar saham telah meraup US$ 3 triliun sejak pemilu berlangsung pada 8 November 2016. Selain itu, menurunkan harga-harga secara signifikan sehingga masyarakat bisa berhemat. Sebagai dampaknya, Amerika Serikat kini memiliki pesawat tempur baru jenis F-35.

Sebagai bagian dari penghematan, pemerintah Amerika juga membekukan penerimaan pekerja dari sektor non-militer serta sektor lainnya yang dianggap belum mendesak. “Kami juga telah menarik mundur keikutsertaan Amerika dari pakta perdagangan Trans-Pacific Partnership yang telah membunuh lapangan kerja dalam negeri."

Selain itu, Trump mengumumkan langkah kerjasama yang dijalinnya dengan Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau. Kedua negara sepakat memberikan dukungan untuk para perempuan pengusaha agar dapat lebih mudah mengakses modal dan pasar untuk memulai bisnis mereka.

Trump menyebut Amerika Serikat telah kehilangan seperempat lapangan pekerjaan di sektor manufaktur sejak disepakatinya pakta perdagangan bebas NAFTA. Selain itu, sebanyak 60 ribu pabrik di Amerika gulung tikar  menyusul bergabungnya Cina ke dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di tahun 2001.

“Defisit perdagangan barang kita tahun lalu hampir US$ 800 miliar,” kata Trump. (Baca: "Main Belakang" dengan Rusia, Penasihat Keamanan Trump Mundur)

Oleh karena itu, Trump melanjutkan, pemerintah Amerika harus mempermudah perusahaan-perusahaan menjalankan bisnis di dalam negeri. Di sisi lain, membatasi perusahaan Amerika yang ingin ekspansi ke luar negeri.

Saat ini, perusahaan Amerika dibebani pajak tertinggi di dunia. Untuk mengatasi hal ini, pemerintahan Trump merancang reformasi perpajakan agar bisa menekan besaran pajak bagi perusahaan Amerika. Dengan begitu, perusahaan Amerika mampu bersaing di mana pun.

Pada saat yang bersamaan, pemerintah Amerika berencana memberikan keringanan pajak besar-besaran bagi masyarakat kelas menengah di negara tersebut. (Baca: Kebijakan Trump Picu Unjuk Rasa Penghuni Silicon Valley)

Trump memberikan gambaran. Selama ini perusahaan Amerika terpaksa membayar tarif yang sangat tinggi untuk barang-barang yang diekspor. Namun, perusahaan asing yang memasarkan barangnya ke Amerika malahan hampir tidak dikenai pajak.