Para pelaku bisnis di Inggris telah merasakan dampak buruk dari keputusan negaranya keluar dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit). Bayang-bayang buruk bakal semakin besar seiring dengan persetujuan parlemen Inggris menetapkan suku bunga kredit yang lebih tinggi pekan ini untuk mencegah risiko terpuruknya ekonomi negara tersebut.
Survei yang dilakukan lembaga Ipsos Mori terhadap para pegawai senior pada 100 dari 500 perusahaan terbesar di Inggris mengungkapkan dampak buruk Brexit tersebut. “Bisnis di negara ini sudah merasakan kesulitan ekonomi setelah Inggris meninggalkan Uni Eropa,” kata Kepala Eksekutif Ipsos Mori, Ben Page, seperti dilansir Financial Times, Senin (6/2). Ia memperkirakan kondisi ini akan tetap berlangsung sepanjang tahun.
(Baca: Ketidakpastian Global, Pengusaha Garap Pasar Timur Tengah dan Afrika)
Sebanyak 58 persen responden menyatakan Brexit sudah berdampak buruk terhadap bisnis mereka. Hanya 11 persen yang menilai keputusan Inggris meninggalkan Uni Eropa berdampak positif. Sementara itu, 31 persen responden menyebut tidak ada perbedaan yang dialami perusahaan mereka.
Sementara itu, sebanyak dua per tiga petinggi 114 perusahaan yang masuk dalam indeks FTSE 500 di bursa London menilai iklim bisnis akan lebih terpuruk dalam 12 bulan mendatang. Hanya 13 persen yang berpikir sebaliknya.
Mayoritas dari responden tersebut, yaitu sebanyak 84 persen, mengatakan penting bagi sektor bisnis untuk mendapatkan kepastian hasil negosiasi Pemerintah Inggris dengan uni Eropa. Namun, separuh dari mereka pesimistis pemerintah mampu melakukan negosiasi untuk mendapatkan kesepakatan terbaik bagi Uni Eropa dan perusahaan-perusahaan Inggris.
Meski demikian, 96 persen di antara mereka yakin aktivitas bisnis bisa beradaptasi seiring keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Lebih lanjut, lebih dari dua per tiga responden mengklaim telah mengambil kebijakan tertentu sebagai respons terhadap referendum Brexit tahun lalu. Namun, ada juga yang memilih memindahkan kegiatan bisnis mereka keluar dari Inggris.
Para pelaku bisnis merinci prioritas yang akan dipertimbangkan setelah hasil negosiasi yang tengah dilakukan Perdana Menteri Inggris Theresa May. Pertama, perpindahan tenaga kerja. Kedua, akses untuk mendapatkan tenaga terampil.
Ketiga, akses perdagangan bebas, atau mempertahankan pasar tunggal dengan Uni Eropa. Keempat, hak dalam mendapatkan paspor.
Para responden pun menginginkan penyederhanaan regulasi untuk merekrut staf Uni Eropa. Mereka menilai hal ini mampu menunjang keberhasilan pasca Brexit. (Baca: Menkeu Sebut Tantangan Ekonomi 2017: Trump, Brexit, Cina)
Sejumlah petinggi perusahaan sudah menyuarakan kekhawatiran mereka atas kemungkinan berkurangnya posisi tawar terhadap para pesaing di Eropa. Mereka mencemaskan kenaikan tarif akan meningkatkan beban biaya produksi serta ekspor barang.
Investor juga masih menanti kejelasan dari hasil sejumlah negosiasi setelah Brexit, sebelum memutuskan untuk mengucurkan dana bagi proyek-proyek jangka panjang.
Di sisi lain, May menghadapi kecaman anggota parlemen dari Partai Tory, yang menilai May bisa meninggalkan meja negosiasi di Brussels tanpa membawa pulang kesepakatan apa pun. Jika hal ini terjadi, bisnis di Inggris berpotensi mengalami dampak serius.
May sebelumnya menyatakan memilih tidak menandatangani kesepakatan sama sekali dibandingkan harus menyetujui kesepakatan yang buruk. Hal ini memungkinkan Inggris kembali mengadopsi peraturan-peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), termasuk dalam hal tarif.
Anggota parlemen dari Partai Tory, Steve Baker, menyatakan sebanyak 27 anggota parlemen partai tersebut bisa saja melakukan perubahan di level komite. Mereka akan berupaya meminta May kembali ke Brussels, jika Inggris tidak mengantongi kesepakatan apa pun, untuk memperoleh ketentuan-ketentuan kerjasama yang lebih baik.
Kantor Statistik Nasional Inggris pada Desember melaporkan Inggris menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di G7 sepanjang tahun lalu. Selain itu, Inggris diperkirakan tidak akan mengalami perlambatan ekonomi, seperti yang diprediksi para ekonom yang mendukung keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada Juni lalu.
Meski demikian, data bank Sentral Inggris memperlihatkan pertumbuhan pinjaman pada Desember lalu mencapai titik terlambat selama lebih dari dua tahun terakhir. Di sisi lain, kepercayaan konsumen juga merosot. (Baca: Efek Brexit, Inggris Alami Pertumbuhan Terlambat Sejak 2009)