UEA dan Israel Sepakati Hubungan Bilateral, Palestina Dikhianati

ANTARA/Reuters
Seorang pria Palestina berargumen dengan tentara Israel saat protes atas rencana Israel untuk aneksasi bagian yang diduduki di Tepi Barat, di Lembah Jordan, Rabu (24/6/2020).
14/8/2020, 09.30 WIB

Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) pada Kamis (13/8) mengumumkan kesepakatan untuk menjalin hubungan bilateral. Kesepakatan tersebut juga mengubah peta politik di Timur Tengah dari isu Palestina menjadi serangan terhadap Iran.

Dalam perjanjian itu, Israel sepakat menghentikan pencaplokan wilayah Palestina di Tepi Barat. Hal itu sesuai dengan rencana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang diumumkan pada Januari 2020.

"Sebagai hasil dari terobosan diplomatik, dan atas permintaan Presiden Trump, dengan dukungan dari UEA, Israel akan menangguhkan deklarasi kedaulatan atas wilayah Tepi Barat," ujar pernyataan bersama ketiga negara seperti dikutip dari Reuters, Jumat (14/8).

Selain itu, kedua negara bersama AS bakal memperkuat oposisi untuk menentang Iran. Negara tersebut dianggap sebagai ancaman utama di Timur Tengah.

Amerika memang ikut terlibat dalam perjanjian tersebut. Trump bahkan disebut sebagai broker dari kesepakatan kedua negara.

Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan Putra Mahkota UEA Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed menyetujui normalisasi penuh hubungan antara Israel dan UEA. Melalui kesepakatan itu, kedua negara memetakan jalur baru untuk membuka potensi besar di Timur Tengah. Selan itu, Israel dan UEA diharapkan segera bertukar duta besar.

Perjanjian yang disebut sebagai Abraham Accord itu juga memberi Trump pencapaian kebijakan luar negeri sebelum pemilihan Presiden AS pada 3 November 2020. Saat berbicaraa di Gedung Putih, Trump menyatakan kesepakatan serupa sedang dibahas dengan negara-negara lain di kawasan Teluk Gulf Arab.

Kesepakatan tersebut juga disebut Trump sebagai penyatuan dua mitra terdekat AS di kawasan tersebut. Selain itu, dia menyatakan perjanjian antara Israel dan UEA menjadi langkah signifikan untuk membangun Timur Tengah yang lebih damai, aman, dan sejahtera.

UEA menyatakan akan tetap menjadi pendukung kuat rakyat Palestina, yang berharap mendapatkan kemerdekaan di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur. Selain itu, kesepakatan tersebut menjadi solusi untuk Israel dan Palestina yang telah berkonfilik dalam waktu lama.

Sheikh Mohammed bon Zayed dari UEA menyatakan perjanjian itu bakal menghentikan pencaplokan wilayah Palestina lebih lanjut oleh Israel. Pejabat Senior UEA Anwar Gargash menambahkan bahwa kesepakatan itu membantu meredakan bom waktu serta mendorong Israel dan Palestina kembali ke meja perundingan.

Di sisi lain, kesepakatan itu dipandang sebagai upaya Netanyahu untuk meningkatkan popularitasnya yang sedang turun karena penanganan pandemi corona. Dalam siaran televisi, Netanyahu menyatakan kesepakatan bakal menjadi jalan untuk mencapai kedamaian dengan UEA. Dia pun berharap negara lain dalam kawasan itu mau mengikuti jejak UEA.

Melalui perjanjian tersebut, Israel juga setuju dengan permintaan Trump untuk "menunggu sementara" implementasi janji aneksasinya. Aneksasi merupakan upaya pengambilan dengan paksa tanah orang atau negala lain untuk disatukan dengan tanah sendiri.

"Ini merupakan momen yang menyenangkan, bersejarah untuk perdamian di Timur Tengah," ujar Netanyahu.

Meski begitu, para pemimpin Palestina terkejut dengan kesepakatan tersebut. Palestina bahkan mengecam tindakan ketiga negara dan menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mereka.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas menolak kesepakatan tersebut. "Itu merupakan pengkhianatan terhadap Yerusalem, Al-Aqsa (masjid paling suci ketiga dalam Islam), dan perjuangan Palestina," ujar Juru Bicara Palestina Abu Rudeineh saat membaca pernyataan dari luar markas besar Abbas di Ramallah, Tepi Barat.

Selain itu, Juru Bicara Kelompok Islam Bersenjata Hamas, Fawzi Barhoum, menyatakan bahwa kesepakatan tersebut sebagai 'tusukan di belakang' bagi perjuangan Palestina. "Itu hanya melayani pendudukan Israel," ujar Fawzi di Gaza.

Israel sebelumnya telah menandatangani perjanjian damai dengan Mesir pada 1979 dan Yordania pada 1994. Namun, Uni Emirat Arab dan sebagian besar negara Timur Tengah tidak mengakui Israel dan tidak memiliki hubungan diplomatik atau ekonomi formal dengan negara tersebut. UEA menjadi negara pertama di Teluk Gulf Arab yang mencapai kesepakatan dengan negara Yahudi itu.