Kisah Miris Lima Spesaly, Perempuan Afganistan yang Terpasung Haknya

ANTARA FOTO/REUTERS/Mohammad Ismail/foc/cf
Mohammad Ismail | Para pria berjalan di antara puing-puing tangki bahan bakar dan truk setelah kebakaran semalam, di pinggiran kota Kabul, Afganistan, Minggu (2/5/2021).
7/10/2021, 13.10 WIB

Kejatuhan Afganistan kembali ke tangan Taliban sudah berlalu satu setengah purnama. Namun bagi sebagian penduduk di sana, peristiwa itu masih menyisakan kecemasan. Tanggal 15 Agustus 2021 seakan menjadi hari kelam yang akan terus berarak, terutama untuk para perempuan, termasuk Lima Spesaly.

“Hari ketika Taliban memasuki Kabul dan provinsi lainnya adalah hari gelap bagi kami. Tidak ada orang Afganistan yang melupakan hari itu. 20 tahun lalu mereka telah mengalaminya, semua takut pada Taliban,” kata Lima dalam wawancara eksklusif dengan Katadata pekan lalu.

Perempuan 27 tahun ini pun mulai mengubur hasratnya untuk mengecap pendidikan lebih tinggi. Pengendali politik saat ini sangat membatasi ruang gerak perempuan. Sama seperti dua dekade lalu, ketika Taliban berkuasa pada 1996 hingga 2021.

Dalam mengendalikan politik dan kedaulatan, Taliban yang sebagian besar dari etnis Pashtun, suku terbesar di sana, menganggap bahwa kekuasaan sepenuhnya milik Tuhan. Karenanya, perintah berada di tangan amirul mukminin yang dipilih oleh dewan ulama. Mereka mengharamkan beragam sarana informasi, khususnya televisi.

Ketika itu, di bawah kendali mereka, ekonomi negara remuk. BBC menggambarkan Afganistan menjadi negara paria. Tak hanya itu, pemerintah bersikap brutal terhadap warganya. Taliban pun memberikan perlindungan bagi al-Qaeda pimpinan Osama Bin Laden yang oleh Barat dituding di belakang serangan 9 November 2001 di Amerika Serikat.

Situasi seperti itu yang mencemaskan Lima. Dia, yang memiliki tiga saudara laki-laki dan tiga saudara perempuan, telah mengikuti ujian untuk memperoleh beasiswa magister di India. Tinggal selangkah lagi, hanya menunggu visa, semestinya Lima bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi tersebut.

Bagai perempuan di negara lain, sebenarnya keinginannya tidak muluk-muluk. Mimpinya ingin membawa kembali ilmu yang dia peroleh ke tanah kelahirannya untuk melayani rakyat di masa depan. Namun dia menganggap harapan tersebut pupus.

“Sekarang saya tidak berpikir semuanya akan berjalan semulus dulu. Saya merasa sangat buruk. Kondisi mental saya tidak baik sama sekali. Anggota keluarga, teman, kolega, dan semua orang tersiksa secara mental,” katanya.

Bahkan, dia merasa bahwa nasib dan hidup orang di sekitarnya sudah tidak memiliki harapan. Saat ini, mereka hanya memikirkan dan menunggu kapan orang-orang bersenjata Taliban akan mengejar. “Membawa kami keluar dari rumah dan kapan mereka akan membunuh kami?”

Tak hanya soal pendidikan, Lima melihat masa suram sudah datang bagi pekerja perempuan. Ini bermula dari hilangnya hak wanita kelahiran Ghazni tersebut untuk bekerja. Padahal, Lima sudah menjadi jurnalis selama 10 tahun terakhir. 

“Mengingat situasi saat ini di Afganistan, saya tidak memiliki harapan untuk masa depan yang lebih cerah,” ujar Lima.

Kembalinya Nestapa di Afganistan

Minggu, 15 Agustus 2021, Taliban kembali menduduki Ibu Kota Kabul dan merebut istana kepresidenan Afganistan. Alih kekuasaan pemerintah tersebut diumumkan Juru Bicara Taliban Zabihullah Mujahid.

Selang beberapa hari, Zabihullah menggelar jumpa pers Selasa (17/8), dan berjanji bahwa mereka akan menghormati hak-hak perempuan. Kelompok tersebut sebelumnya juga mengumumkan ke seluruh Afganistan dan mendesak perempuan untuk bergabung dengan pemerintahnya.

Janji pemerintah Taliban untuk memberikan amnesti rupanya tak sejalan dengan realisasi. Lima Spesaly mengungkapkan bahwa dalam 25 hari terakhir dia dan rekan-rekannya banyak menyaksikan pembunuhan orang-orang di Kabul, Nangarhar, Herat dan provinsi lainnya.

“Saya pikir, jika hak-hak kami tidak ditegakkan, masyarakat sipil dapat turun ke jalan dan membuat suara untuk didengar dunia. Bila dunia mampu menekan Taliban untuk memberi hak kami, saya pikir itu adalah langkah positif,” ujar Lima.

Namun, dalam 15 hari setelah Afganistan kembali dikuasai Taliban, anggota keluarga, teman, dan kolega Lima hidup dalam ketakutan dan suasana hati yang buruk. Mereka kehilangan keberanian dan berharap itu semua hanya mimpi.

Teranyar, pekan lalu pasukan Taliban menyerang dan menghancurkan sebuah sel Negara Islam ISIS di utara Kabul, Minggu (3/10) malam. Menurut pejabat dan penduduk setempat, wilayah ibu kota yang biasanya tenang kembali mendengungkan suara tembakan dan ledakan selama berjam-jam.

Berdasarkan keterangan Zabihullah, unit khusus Taliban melakukan operasi terhadap ISIS di distrik ke-17 Kabul dan menghancurkan pangkalan mereka. Tak hanya itu, semua orang di dalamnya juga ikut terbunuh.

Berdasarkan keterangan penduduk setempat, sebelum memulai serangan, pasukan Taliban mengepung daerah itu dan beraksi di malam. Baku tembak berlangsung selama beberapa jam. Para penduduk terganggu oleh dua dentuman, ketika pejuang ISIS meledakkan bahan peledak.

Jurnalis Afganistan Lima Spesaly (Katadata)

Di sisi lain, Reuters melaporkan kalau pemerintahan baru Taliban kini tengah menghadapi serentetan masalah. Selain ekonomi, sebagian besar wilayah Afganistan juga dihadapkan risiko bahaya kelaparan.

Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah menjanjikan bantuan kemanusian US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,3 triliun untuk membantu Afganistan. Bantuan tersebut diharapkan mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan yang meningkat sejak Taliban mengambil alih kekuasaan.

“Setelah beberapa dekade perang dan penderitaan, itu mungkin saat yang paling berbahaya. Tingkat kemiskinan dan layanan publik hampir runtuh dan banyak orang bisa kehabisan makanan pada akhir bulan ini saat musim dingin mendekat,” kata Sekretaris Jenderal Antonio Guterres yang dikutip BBC pada Selasa (14/9).

Sebelumnya, PBB telah menyerukan penggalangan dana US$ 606 juta. Hasil penggalangan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga Afganistan yang paling mendesak seperti makanan dan obat-obatan.

PBB menyatakan, sekitar sepertiga dari dana yang terkumpul akan digunakan oleh Program Pangan Dunia (WFP). WFP menyatakan bahwa banyak warga Afganistan tidak memiliki akses uang tunai untuk membeli makanan yang cukup.

Situasi seperti ini dialami Lima. Ekonomi Afganistan telah memburuk dalam sebulan terakhir. Banyak keluarga mengungsi dari provinsi menuju Ibu Kota Kabul dan ke taman kota yang luas akibat pertempuran.

Bahkan, di lingkungan sekitarnya, sekitar 10 keluarga tidak memiliki makanan. “Musim dingin akan datang. Jika komunitas internasional dapat memenuhi janji bantuannya, ini akan menyelamatkan komunitas Afganistan dari bencana besar. Banyak orang miskin dan provinsi lain yang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan,” kata Lima.

Wanita yang tampil anggun dalam balutan salwar kameez -baju tradisional Afganistan- bernuansa hijau tersebut berharap masyarakat internasional dan PBB bisa mengirimkan bantuannya segera. Melalui Bandara Kabul, bantuan sudah bisa masuk dan diharapkan meringankan masalah mendasar masyarakat di Afganistan.

Lima juga meminta agar PBB dan komunitas internasional tidak memunggungi Afganistan. Apalagi, banyak penduduk negara ini yang telah bekerja dengan warga negara asing. 

Ekonomi menjadi hal penting yang mempengaruhi kondisi masyarakat Afganistan saat ini. Lima juga menyampaikan bahwa protes yang kerap terjadi di Kabul bertujuan untuk membawa stabilitas ekonomi seiring maraknya keluarga yang mengungsi ke ibu kota.