Gejolak kenaikan harga-harga di Turki terus berlanjut. Laporan terbaru menunjukan inflasi di Turki menembus 36,1% di bulan Desember 2021 atau menyentuh level tertingginya dalam 19 tahun terakhir.
Melonjaknya inflasi di Negara Bulan Sabit terjadi seiring pelemahan mata uang lira. Pelemahan lira menyebabkan biaya impor melonjak yang berdampak langsung ke harga barang.
Institut Statistik Turki melaporkan inflasi di Turki melonjak 36,1% secara tahunan di Desember 2021. Ini merupakan inflasi tertinggi sejak September 2002, dua bulan sebelum partai pengusung Presiden Recep Tayyip Erdogan berkuasa di November 2002.
Kenaikan harga-harga terutama disebabkan oleh biaya transportasi yang melonjak hampir 54% secara tahunan dan inflasi harga makanan dan minuman yang meroket 43,8%.
Harga peralatan rumah tangga dan perhotelan juga melonjak lebih dari 40%.
Kenaikan harga-harga tersebut seiring pelemahan signifikan mata uang lira terhadap dolar AS yang mencapai 40% pada tahun lalu.
Hal ini kemudian ikut mendorong inflasi dari sisi impor yang terefleksi dari inflasi harga produsen 79,89% secara tahunan.
Kejatuhan lira salah satunya dipicu oleh desakan Erdogan terhadap bank sentral untuk meninggalkan kebijakan moneter yang ortodoks dengan meminta tetap menurunkan suku bunga untuk merespon inflasi.
Bank sentral Turki memangkas suku bunga selama empat bulan berturut-turut pada Desember, perubahan dari 19% pada September menjadi 14% di akhir tahun.
Bank sentral biasanya menaikkan suku bunga atau memperketat kebijakan moneternya ketika terjadi lonjakan inflasi.
Langkah tersebut dilakukan untuk menghentikan ekonomi dari overheating.
Namun, Erdogan melakukan strategi sebaliknya. Presiden berusia 67 tahun tersebut mendesak penurunan bunga acuan lebih lanjut sebagai upaya mendorong permintaan kredit.
Erdogan menyalahkan intervensi asing sebagai penyebab kesengsaraan ekonomi Turki. Dia mengatakan diarinya tengah memimpin perjuangan untuk kemandirian finansial yang lebih besar bagi negara.
Bulan lalu, Erdogan mengumumkan kenaikan hampir 50% dalam upah minimum nasional. Ia juga mengusulkan rencana jenis baru rekening deposito lira Turki yang akan melindungi deposan dari devaluasi.
"Kami telah bekerja selama beberapa waktu ini untuk mengeluarkan ekonomi Turki dari spiral suku bunga tinggi, inflasi tinggi, dan menempatkannya di jalur pertumbuhan melalui investasi, lapangan kerja, produksi, ekspor, dan surplus neraca berjalan," kata Erdogan dikutip dari CNN Internasional, Selasa (4/1).
Sementara sebagai upaya untuk menyelamatkan lira, dia juga meminta para pebisnis dan individu untuk lebih sering menggunakan mata uang lokal ketimbang asing.
Pada saat yang sama, bank sentral juga telah meminta eksportir untuk menjual 25% dari pendapatan dari hard-currencynya, mata uang yang dipakai untuk perdagangan internasional seperti dolar AS atau euro, untuk kemudian dikonversi ke lira.
"Selama ini kita tidak memakai mata uang kita sendiri sebagai benchmark, makanya kita pasti akan tenggela. Lira yang akan akan kita majukan, bukan dengan mata uang asing," kata Mantan Perdana Menteri Turki periode 2003-2014 tersebut.
Di samping mendorong kredit lewat penuurnan suku bunga, Erdogan kini bertumpu pada kinerja ekspor untuk menopang pertumbuhan ekonomi Turki.
Data perdagangan Turki menunjukkan ekspor tahun lalu melonjak sekitar 30% menjadi US$ 225 miliar.
Erdogan mengatakan kinerja ekspor tahun lalu tumbuh enam kali lipat selama masa jabatannya.
"Kami hanya memiliki satu perhatian, yakni ekspor, ekspor dan ekspor," kata Erdogan dikutip dari Reuters.