Catatan Harian Warga Ukraina yang Bertahan di Tengah Kepungan Rusia

ANTARA FOTO/REUTERS/Press service of the Ukrainian State Emergency Service/Handout /foc/sad.
Area di dekat gedung pemerintah daerah yang terkena rudal menurut pejabat kota, di Kharkiv, Ukraina, dalam gambar selebaran yang dirilis Selasa (1/3/2022).
Penulis: Nuhansa Mikrefin
Editor: Yuliawati
1/3/2022, 21.04 WIB

Seorang warga Ukraina menceritakan pengalaman yang dialaminya selama berlangsungnya invasi Rusia sejak lima hari yang lalu. Seorang perempuan berusia 35 tahun bernama Zakhida Adylova menceritakan kisahnya dalam catatan harian yang ia tulis untuk Al Jazeera.

Zakhida tinggal di Kyiv bersama anak yang berusia 11 tahun dan ibunya berusia 75 tahun. Mereka menetap di ibu kota Ukraina sejak Rusia menguasai Krimea pada 2014. Keluarganya merupakan keturunan seorang Tatar Krimea atau kelompok etnis Turki yang tinggal di Krimea.

Pada hari pertama invasi Rusia ke Ukraina, Zakhida terbangun dari tidurnya lantaran putrinya berteriak bahwa perang telah dimulai. Ia lantas menengok ke jendela untuk melihat situasi, tetapi yang ia lihat hanyalah jalanan yang kosong. 

Zakhida lantas membuka ponselnya dan ia menerima banyak pesan masuk dan panggilan tak terjawab. "Bawa keluargamu dan lari ke tempat perlindungan bom," tulis salah satu pesan tersebut. Pesan tersebut dikirimkan oleh seorang temannya bernama Alex yang juga seorang perwira militer.

Setelah membaca pesan tersebut, Zakhida bersama putri dan ibunya berkemas-kemas. Dia membawa dokumen penting, pakaian, laptop, peralatan medis hingga sejumlah uang tunai.  

Zakhida mendapat informasi dari sesama Tatar Krimea mengenai tempat perlindungan berupa masjid yang lokasinya hanya terpaut 15 menit jika ditempuh dengan kaki.

Saat bergegas menuju lokasi ia melihat banyak orang berbondong-bondong membawa perlengkapan pribadi mereka masing-masing. Beberapa di antaranya ada yang menggunakan mobil dan ada juga yang menunggu bus di halte.

Zakhida berusaha menggunakan layanan Uber  online, tapi tidak ada kendaraan yang tersedia. Ia dan keluarga pun naik trem atau kereta yang memiliki rel khusus di dalam kota.

Saat tiba di masjid ia hanya bertemu dengan seorang penjaga yang mengatakan bahwa tempat itu ditutup dan tidak ada tempat perlindungan.  Zakhida pun lantas kembali ke rumahnya.  

Keesokan harinya ia mengetahui bahwa penjaga masjid tersebut salah. Masjid membuka tempat perlindungan, tetapi saat ia mengetahui hal tersebut semua sudah terlambat.  

Zakhida memutuskan berlindung di rumahnya. Dia mengubah kediaman kecilnya menjadi tempat perlindungan bom dengan meletakkan bantal dan selimut di lantai.

Hari itu, Zakihida tetap bekerja. Dia merupakan produser untuk sebuah acara talk show dengan topik politik. Acara tersebut dilakukannya secara daring menggunakan platform YouTube. Ia bertanggung jawab atas para pembicara yang diantaranya adalah mantan Presiden Polandia Lech Walesa dan mantan penasihat keamanan nasional Amerika Serikat John Bolton.

Serangan siber DDoS yang diluncurkan oleh Rusia pada pukul 18.00 kemudian merusak sinyal yang membatalkan acara tersebut. Namun, Zakhida telah merampungkan wawancaranya dengan John Bolton dan menyimpan datanya. Dalam wawancara tersebut, Bolton mengatakan pasukan angkatan darat Ukraina memiliki peluang menang jika mampu mengalahkan Rusia di udara.

Sekitar pukul 21.00, Zakhida meminta agar anak dan ibunya tidur di koridor sementara dia mengawasi mereka berdua. Zakhida baru dapat terlelap pukul 03.00 keesokan harinya dan dibangunkan oleh suara bom di Vysgorod sebuah wilayah di utara Kyiv.

“Ini pertama kalinya saya mendengar bom,” tulis Zakhida.

Siang harinya Zakhida keluar untuk membeli roti, tetapi sebagian besar toko-toko tutup. Dia menghampiri sekitar 10 toko,  hingga akhirnya menemukan sebuah supermarket kecil.

Saat sedang mengantre tiba-tiba terdengar peringatan serangan udara. Beberapa warga pun lantas meninggalkan toko.  Zakhida lantas mencari tempat untuk berlindung lima menit dan memutuskan untuk berlari pulang.

UKRAINE-CRISIS/ROMANIA-BORDER (ANTARA FOTO/REUTERS/Stoyan Nenov/AWW/dj)




Sekitar pukul 16.00 waktu setempat, Zakhida kembali keluar rumah untuk mencari bahan makanan. Ia kemudian mengantri pada sebuah toko selama satu jam. Namun, ia hanya bisa memperoleh pisang, batang cokelat, dan biskuit. Tak ada yang tersisa di toko tersebut.

Pada hari ketiga invasi, Zakhida menyebut sudah mulai terbiasa dengan peringatan serangan udara. Ia beserta keluarga tidak lagi panik dan hanya berbaring di lantai sambil berdoa. Zakhida bahkan mengatakan putrinya sudah bisa membedakan suara ledakan bom dengan suara senjata.

Selama invasi berlangsung Zakhida rutin berkomunikasi dengan teman-temannya baik yang berada di luar negeri maupun di Krimea. Ia menyebut banyak teman-temannya di luar negeri yang menawarkan Zakhida dan keluarganya tempat tinggal.

Namun, ia tidak akan kabur. “Aku tidak akan melarikan diri. Saya muak harus bersembunyi di negara saya sendiri,” tulis Zakhida.

Sekitar pukul 10 pagi ia mendengar adanya peringatan serangan udara. Zakhida dan putrinya lantas bersembunyi di kamar mandi sementara ibunya tetap berada di koridor.

Malam pun dilalui Zakhida dengan duduk di lantai kamar mandi sambil membaca Al-Fatihah. "Ibuku dan putriku juga turut membaca Al-Quran," kata Zakhida.

Tiga hari invasi berlangsung membuat Zakhida merasa lebih kuat dan tegar. Warga Ukraina pun lebih bersatu seiring berjalannya invasi.

Postingan teman-temannya di media sosial juga menghibur Zakhida. Seorang teman Zakhida di Odesa mengunggah kisah para tentara dengan berbagai jenis kelamin dan orientasi seksual, kebangsaan, dan keyakinan agama, warna kulit dan bahasa yang berbeda, melawan Rusia.   

Hari keempat invasi dihabiskan Zakhida dengan bermain bersama sang putri. Ia merasa senang melihat putrinya yang  tersenyum kala bermain dengan dirinya. Ia juga membaca mengenai aksi demonstrasi perdamaian dari seluruh dunia dan mengenai sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia.  

“Saya tidak tahu apakah saya masih akan hidup dalam beberapa jam, tetapi saya menangis sekarang, bukan karena invasi tetapi karena semua dukungan yang kami terima,” tulis Zakhida.

Lima hari invasi berlangsung Zakhida justru dapat tersenyum meski terdapat getaran jendela dan pintu akibat pengeboman di malam harinya. Ia bersyukur lantaran masih diberi kesempatan untuk hidup dan keluarganya diberi kesehatan dan keamanan.

“Kami tidak memulai perang ini, tetapi kami tidak punya pilihan selain memenangkannya,” tulis Zakhida.

Reporter: Nuhansa Mikrefin