Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga dinilai terlalu masuk ke ruang privat dan diskriminatif terhadap perempuan. Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mendesak agar draf aturan itu segera dicabut dalam daftar program legislasi nasional atau Prolegnas prioritas 2020.
“Banyak pasal dalam RUU Ketahanan Keluarga yang melanggar hak asasi manusia,” katanya dalam keterangan tertulisnya, seperti dikutip dari Antara, Rabu (4/3).
Para perempuan, menurut dia, harus bersatu dan bergandengan tangan untuk bersuara soal RUU tersebut. Di pihak lain, anggota DPR perlu melakukan kajian lebih dalam terhadap pasal-pasal kontroversial dan sangat kontradiktif dengan peran wanita saat ini.
Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu mengatakan, aturan itu membuat perempuan mundur ke zaman Raden Ajeng Kartini. “Ini produk hukum politik yang sangat eksklusif,” ucapnya.
Senada dengan Ninik, aktivis perempuan Tunggal Pawestri pun menilai RUU Ketahanan Keluarga sangat bermasalah dan tidak relevan. Naskah akademiknya kacau dan memunculkan stigma kaum Hawa tidak kredibel dalam membina rumah tangga.
Contohnya, seorang ibu yang menjadi tenaga kerja Indonesia atau TKI di luar negeri. Mengacu RUU tersebut, TKI ini termasuk dalam kategori ibu tidak ideal dan tidak mampu mengurus rumah tangga. Padahal ia terpaksa meninggalkan suami dan anak untuk menghidupi keluarganya. "RUU yang seharusnya untuk memperbaiki masalah, malah berlaku sebaliknya," kata Pawestri.
(Baca: Pemerintah Dalami Kemungkinan RUU Ketahanan Keluarga Inkonstitusional)
Pasal-Pasal Bermasalah RUU Ketahanan Keluarga
RUU Ketahanan Keluarga telah masuk proses harmonisasi di Badan Legislatif atau Baleg DPR sejak 7 Februari 2020. Ada lima politisi yang mengajukan draf aturan tersebut, yaitu Sodik Mudjahid dari Fraksi Partai Gerindra, Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa dari Fraksi PKS, Endang Maria Astuti dari Fraksi Partai Golkar, serta Ali Taher dari Fraksi PAN.
Lembaga kajian independen International for Criminal Justice Reform atau ICJR dalam siaran persnya pada 26 Februari lalu, menilai pemerintah harus mengkaji ulang rencana pembahasan aturan usulan DPR itu. Paling tidak ada tiga catatan penting dari aturan bermasalah itu.
Pertama, RUU Ketahanan Keluarga menguraikan banyak hal terkait kewajiban-kewajiban tertentu yang belum tentu diperlukan dalam setiap keluarga. Pasal 15 ayat 1, misalnya, mengatakan kewajiban keluarga salah satunya berperan serta dalam penyelenggaraan ketahanan keluarga untuk mewujudkan keluarga Indonesia yang tangguh dan berkualitas.
Lalu, dalam pasal 16 ayat 1 memuat kewajiban anggota keluarga yang terdiri dari menaati perintah dan menjauhi larangan agama. Lalu, pasal 24 ayat 2 menyebut kewajiban suami dan istri untuk saling mencintai, menghormati, serta menjaga kehormatan.
Pasal 25 mewajibkan suami dan istri untuk melaksanakan norma agama. Ada lagi aturan mengenai hak dan kewajiban anak dalam pasal 101 ayat 2. Kewajiban itu antara lain menghormati orang tua, menunaikan ibadah sesuai ajaran agama dan melaksanakan etika serta akhlak mulia.
(Baca: Usulan DPR, Berikut Daftar Pasal Kontroversial RUU Ketahanan Keluarga)
Seluruh kewajiban itu sebenarnya bukan kewenangan negara karena berada di ruang spiritualitas seseorang. Negara pun tidak bisa melihat dan menguraikan konsekuensi atas pelanggaran kewajiban-kewajiban itu.
Karena itu, ICJR menilai RUU Ketahanan Keluarga justru membuat negara mengambil kewenangan agama. Spiritualitas dan kepercayaan seseorang sebaiknya tidak diatur sewenang-wenang dalam sebuah undang-undang.
Masalah kedua, RUU itu bertentangan dengan semangat kesetaraan gender. Pasal 25 ayat 2 dan ayat 2 mengurai kewajiban suami-istri secara berbeda. Suami disebut kepala keluarga, berkewajiban dalam aspek ketahanan keluarga, termasuk kewenangan menyelenggarakan resolusi konflik.
Sementara istri diatur dengan kewajiban hanya di ranah domestik. Kewajiban itu antara lain mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, serta memperlakukan suami dan anak dengan baik. Lantas, bagaimana peran perempuan yang juga bisa berperan sebagai keluarga, memiliki fungsi dalam keluarga dan publik?
ICJR mengatakan, RUU Ketahanan Keluarga merupakan kemunduran besar dalam upaya menyetarakan gender. Padahal sebelumnya sudah ada Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pengarusutamaan Gender. Di dalamnya, terdapat arahan agar seluruh jajaran pemerintah menyusun kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender.
(Baca: LGBT Wajib Lapor, Ini Pasal Kontroversial RUU Ketahanan Keluarga)
Masalah ketiga, RUU tersebut rentan pelanggaran terhadap kelompok miskin. Misalnya, soal aturan ketahanan keluarga yang hanya dapat diwujudkan dalam ikatan perkawinan yang sah. Padahal, banyak keluarga miskin sulit mendapat akses pencatatan perkawinan.
Di dalam pasal 33 menyebutkan kewajiban setiap keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan, gizi, kesehatan, sandang, dan tempat tinggal layal huni. Ada pula kewajiban mengikutsertakan anggota keluarga dalam jaminan kesehatan, tempat tinggal dengan sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi yang baik.
Lalu, RUU Ketahanan Keluarga juga mengharuskan setiap keluarga memiliki tempat tinggal dengan kamar yang terpisah antara laki-laki dan perempuan untuk mencegah kejahatan seksual. Semua aturan itu jelas sulit dipenuhi bagi keluarga tidak mampu. ICJR menilai, perumus RUU ini tidak mampu menguraikan konsep hubungan negara dan warganya dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial, serta budaya.