Kementerian LHK Klaim Omnibus Law Tak Pro Pengusaha & Rusak Lingkungan

ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
Foto udara area bekas tambang emas ilegal di kawasan hutan lindung di Aceh. Kementerian LHK membantah omnibus law hanya berpihak kepada pengusaha dan mengabaikan isu lingkungan.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Ekarina
22/2/2020, 18.57 WIB

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membantah anggapan bahwa rancangan Omnibus Law Cipta Kerja mengabaikan lingkungan dan hanya berpihak pada pengusaha besar. Kementerian mengklaim, rancangan aturan tersebut justru dibentuk untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, KLHK mengklaim rancangan Omnibus Law Cipta Kerja memberikan kepastian penegakan hukum lingkungan berjalan pada koridornya. “RUU ini juga sangat berpihak pada kesejahteraan rakyat kecil," kata Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono dalam keterangan tertulisnya, Jumat (21/2).

Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja yang berisikan penyederhanaan regulasi yang bertujuan memberi kepastian hukum dan usaha bagi semua elemen masyarakat, termasuk pengusaha. Pengusaha yang dimaksud tak hanya yang berskala besar, melainkan juga UMKM yang berada di sekitar hutan.

(Baca: Walhi Sebut Korporasi dalam Omnibus Law Punya Keistimewaan Mirip VOC )

Meski demikian, Bambang menilai pemberian kepastian usaha itu bukan berarti mengabaikan prinsip perlindungan hutan. Sebab, sanksi hukum bagi perusak lingkungan akan tetap ada.

“Jadi jangan dikira cukong-cukong dan perusak lingkungan bisa bebas, itu tidak benar. Justru langkah koreksi yang sudah dilakukan untuk rakyat pada periode pertama lalu, kali ini semakin diperkuat oleh RUU Omnibus Law," ujarnya.

Kekhawatiran masyarakat terkait penghapusan pasal-pasal penting di UU yang berkaitan dengan lingkungan hidup itu pun menurutnya tak sepenuhnya benar. Hal tersebut akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen).

Oleh karenanya, masyarakat diminta membaca rancangan Omnibus Law Cipta Kerja secara utuh dan melihat keterkaitan antara pasal per pasal.

(Baca: BKPM Ambil Alih Izin Kawasan Hutan Sejak Akhir Januari 2020)

Sekadar informasi, KLHK ikut serta dalam pembahasan rancangan Omnibus Law Cipta Kerja, khususnya pada pasal-pasal terkait UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2009, dan UU Nomor 18 tahun 2013. Pada ketiga UU tersebut terdapat pasal yang dilakukan penyesuaian norma, penghapusan norma, dan penambahan norma baru.

Adapun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) sebelumnya menyampaikan kritik rancangan Omnibus Law Cipta Kerja karena dinilai memberi kedudukan istimewa kepada korporasi atau perusahaan.

Perlakuan istimewa yang diterima korporasi dalam rancangan aturan tersebut dianggap mirip keistimewaan perusahaan dagang Belanda atau VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) di masa penjajahan.  

“Korporasi dapat dua keistimewaan yakni investasi dipermudah dan imunitas," kata Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi di kantornya, Jakarta, Kamis (20/2).

Zenzi mengatakan, pengistimewaan tersebut seperti terlihat dari perubahan terhadap ketentuan sanksi dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Dalam UU tersebut, sanksi administratif akan diberikan kepada korporasi yang telah diputuskan oleh pemerintah dan sudah masuk ranah pidana.

Sementara itu, dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja, perusahaan belum bisa dipididana apabila sanksi administrasi belum terpenuhi. Zenzi menilai hal tersebut akan menjadikan hukum di Indonesia mengalami kemunduran. Padahal negara-negara lain malah menerapkan pidana korporasi.

(Baca: Jokowi Ubah Aturan Lingkungan dari Izin Hutan hingga Amdal)

Draf Omnibus Law Cipta Kerja juga mencabut Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 yang menyebutkan izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan. Dalam aturan tersebut, jika izin lingkungan dicabut, maka izin usaha dan atau kegiatan dibatalkan.

Dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja, izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) akan diubah menjadi kewenangan pemerintah pusat. Walhi menyebut kewenangan ini membuat pemerintah semakin terpusat alias sentralistik dan kewenangan daerah ditarik. 

Selain itu, rancangan Omnibus Law Cipta Kerja membuat batasan administratif mengenai gugatan keberatan atas kegiatan kerusakan lingkungan. Hanya orang yang terdampak secara langsung yang dapat melaporkan kerusakan lingkungan. 

"Apabila RUU ini disahkan maka izin akan serampangan tanpa dapat digugat oleh rakyat yang memiliki hak atas lingkungan," kata Zenzi.

Reporter: Dimas Jarot Bayu