Rancangan Undang-Undang atau RUU Ketahanan Keluarga yang diusulkan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menuai kontroversi. Sebab, RUU memuat sejumlah regulasi yang mengatur ranah privat dalam keluarga.
RUU ini diusulkan oleh lima orang anggota DPR dari empat fraksi yang berbeda. Mereka adalah anggota Fraksi PKS Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani, anggota Fraksi Golkar Endang Maria Astuti, anggota Fraksi Gerindra Sodik Mujahid, dan anggota Fraksi PAN Ali Taher.
Saat ini, draf RUU tersebut masih dalam tahap penjelasan pengusul di rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR. Jika lolos, draf ini selanjutnya akan dibahas di Panja (Panitia Kerja) untuk diharmonisasi, sebelum dibawa ke pleno Baleg.
(Baca: LGBT Wajib Lapor, Ini Pasal Kontroversial RUU Ketahanan Keluarga)
Ada beberapa pasal dalam draf RUU Ketahanan Keluarga yang berpotensi menimbulkan polemik. Berikut di antaranya:
Kewajiban suami-istri
Kewajiban suami istri dalam menjalankan kehidupan berkeluarga diatur dalam pasal 25. Pada Ayat (2) disebutkan ada empat kewajiban suami, yaitu:
1. sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga;
2. melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran;
3. melindungi diri dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta
4. melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.
Sementara itu, kewajiban istri diatur di dalam Ayat (3) yaitu:
1. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
2. menjaga keutuhan keluarga; serta
3. memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(Baca: Draf RUU Omnibus Law Ibu Kota Negara Rampung, Hanya Ada 30 Pasal)
Donor sperma dan ovum
Di dalam Pasal 26 Ayat (2) disebutkan bahwa setiap suami istri yang terikat perkawinan yang sah berhak memperoleh keturunan. Proses tersebut dapat dilakukan dengan cara alamiah atau teknologi reproduksi dengan menggunakan hasil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami-istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
Kemudian pada Ayat (3) disebutkan reproduksi bantuan dilakukan sebagai upaya akhir untuk memperoleh keturunan berdasarkan pada suatu indikasi medik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Namun, Pasal 31 memuat larangan untuk menjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri atau pun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan.
Pada Pasal 32 disebutkan, setiap orang dilarang melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan. Selain itu, setiap orang dilarang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain melakukan surogasi untuk memperoleh keturunan.
Bagi mereka yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (1) terancam pidana penjara paling lama lima tahun dan atau denda paling banyak Rp 500 juta. Sementara itu, mereka yang melanggar Pasal 31 Ayat (2) dipidana paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.
Adapun bagi mereka yang melanggar ketentuan pada Pasal 32 juga mendapat ancaman hukuman yang sama dengan Pasal 31. Bila perbuatan pada Pasal 31 dan Pasal 32 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, korporasi juga terancam pidana denda paling banyak Rp 5 miliar.
(Baca: Video: Mengupas Omnibus Law RUU Cipta Kerja)
Memisah kamar anak dan orang tua
Poin itu tertuang di dalam Pasal 33 Ayat (2) yang mengatur tentang persyaratan tempat tinggal layak huni. Ketentuannya:
1. memiliki sirkulasi udara, pencahayaan, dan sanitasi air yang baik;
2. memiliki ruang tidur yang tetap dan terpisah antara orang tua dan anak serta terpisah antara anak laki-laki dan anak perempuan;
3. ketersediaan kamar mandi dan jamban yang sehat, tertutup, dapat dikunci serta aman dari kejahatan seksual.
Cuti melahirkan 6 bulan
Di dalam Pasal 29 Ayat (1) huruf a disebutkan bahwa hak cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan, tanpa kehilangan haknya atas upah atau gaji dan posisi pekerjaannya. Ketentuan ini berlaku bagi istri yang bekerja di instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara, BUMN dan BUMD mendapatkan hak cuti melahirkan dan menyusui.
Ketentuan yang sama juga diatur bagi pelaku usaha di sektor swasta, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 134 huruf b.
Bagaimanapun, ketentuan ini berbeda dengan ketentuan yang diatur di dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam ketiga regulasi itu disebutkan bahwa cuti bagi wanita melahirkan paling lama tiga bulan.
Khusus untuk ASN, ketentuan itu berlaku hanya untuk anak pertama hingga ketiga, sedangkan, bagi anak keempat dan seteresnya diberlakukan cuti besar dengan syarat telah bekerja paling sedikit lima tahun.
(Baca: Salah Pengetikan di Omnibus Law, Mahfud MD: Kekeliruan Itu Biasa)
Penyimpangan seksual
Kelima, kewajiban keluarga melaporkan anggotanya yang mengalami penyimpangan seksual kepada badan yang menangani ketahanan keluarga. Aturan itu diatur pada Pasal 85 hingga Pasal 89. Di dalam aturan penjelasan untuk Pasal 85, ada empat hal yang disebut sebagai tindakan penyimpangan seksual. Pertama sadisme, masochisme, homosex dan lesbian serta incest
Pelaporan ini dimaksudkan agar mereka mendapatkan pengobatan atau rehabilitasi. Adapun bentuk rehabilitasi yang nantinya bisa diterima berupa rehabilitasi sosial, psikologis, bimbingan rohani hingga medis sebagaimana diatur pada Pasal 85.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai, norma-norma yang hendak diatur di dalam RUU Ketahanan Keluarga terlalu mengatur norma etika dan ranah privat warga negara.
"Ada banyak hal yang mendesak untuk dibuatkan aturan, kemudian masak soal keluarga diatur dalam UU? Itu norma etika yang merupakan kesalahan terbesar jika diatur dalam UU," ujar Feri dikutip dari Kompas, Rabu (19/2/2020).