Pengacara Pertanyakan Alat Bukti Kejaksaan untuk Jerat Benny Tjokro

ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
Komisaris PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro usai diperiksa sebagai saksi di Kejaksaan Agung Jakarta, Senin (6/1/2020). Pengacara Benny yakni Muchtar Arifin mempertanyakan alat bukti Kejagung dalam menjerat Benny hari Selasa (14/1).
14/1/2020, 22.18 WIB

Pengacara tersangka dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya Benny Tjokrosaputro mempertanyakan alat bukti yang digunakan Kejaksaan Agung dalam menjerat kliennya. Dia mengatakan tak mengetahui alat bukti yang dipakai korps Adhyaksa untuk menyeret Benny sebagai tersangka.

Benny Tjokro bersama empat orang tersangka lain ditahan kejaksaan mulai hari Selasa (14/1). Benny kebagian meringkuk di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Ya bagi saya itu aneh yah. Saya tidak tahu apa alat buktinya," kata pengacara Benny Tjokro Muchtar Arifin di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (14/1).

(Baca: Benny Tjokro dan Hary Prasetyo Ditahan Kejaksaan dalam Kasus Jiwasraya)

Muchtar juga kembali menyoroti pernyataan Badan Pemeriksa Keuangan yang menyebut investasi Jiwasraya senilai Rp 680 miliar di Hanson International Tbk berisiko gagal bayar. Dia mengatakan Hanson sudah membeli kembali (buy back) seluruh medium term notes (MTN) senilai Rp 680 miliar pada Desember 2018 silam.

“Tentu saya kecewa karena (direksi) Jiwasraya yang seharusnya bertanggung jawab belum diapa-apakan,” kata Muchtar.

Penasihat hukum Presiden Komisaris Trada Alam Minera Heru Hidayat yakni Soesilo Aribowo menyayangkan penetapan Heru sebagai tersangka lantaran tidak adanya urgensi. Soesilo juga merasa kaget dengan penetapan status itu lantaran dirasa sangat mendadak. "Saya kaget juga karena tadi pagi hanya dipanggil sebagai saksi," kata Soesilo.

Namun Soesilo juga mengatakan Heru akan menghormati seluruh proses hukum yang saat ini sedang berjalan. “Penjelasan bisa ditanyakan ke Kejaksaan Agung," kata dia.

(Baca: Ini Profil Heru Hidayat, Bersama Benny Tjokro Jadi Tersangka Jiwasraya)

Pengusutan kasus ini bermula dari kegagalan Jiwasraya membayar klaim polis JS Saving Plan pada Oktober 2018 sebesar Rp 802 miliar. Jumlah gagal bayar polis ini terus membengkak. Berdasarkan catatan direksi baru, Jiwasraya tak dapat membayar klaim polis yang jatuh tempo pada periode Oktober-November 2019 sebesar Rp 12,4 triliun.

 Selain salah membentuk harga produk yang memberikan hasil investasi pasti di atas harga pasar, Kejaksaan Agung menemukan BUMN asuransi ini memilih investasi dengan risiko tinggi demi mencapai keuntungan besar.

 Kejaksaan Agung menyebutkan kerugian negara akibat dugaan korupsi dalam pengelolaan dana investasi Jiwasraya sekitar Rp 13,7 triliun pada Agustus 2019. Sementara itu Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan Asuransi Jiwasraya melakukan rekayasa keuangan dalam menutupi kerugian perusahaan sejak 2006.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto