Insiden Natuna dan Kusutnya Sengketa Laut Cina Selatan

Arief Kamaludin|KATADATA
Tampak foto dokumentasi dalam layar, lima kapal asing masing-masing dengan alat tangkap Gilnet, memasuki teritori berdaulat Indonesia di sekitar perairan Natuna dan KP Hiu Macam 001 kemudian melakukan penyergapan satu persatu terhadap kelima kapal.
Penulis: Pingit Aria
3/1/2020, 14.20 WIB

Kedatangan Kapal Nelayan yang dikawal coast guard Tiongkok di Laut Natuna membuat pemerintah meradang. Kementerian Luar Negeri telah memanggil Duta Besar Tiongkok di Jakarta untuk menyampaikan protes.

"Kementerian Luar Negeri telah memanggil Dubes Republik Rakyat Tiongkok (RRT) di Jakarta dan menyampaikan protes keras terhadap kejadian tersebut. Nota diplomatik protes juga telah disampaikan," demikian keterangan resmi Kementerian Luar Negeri, Senin (30/12) lalu.

Kementerian Luar Negeri mengkonfirmasi terjadinya pelanggaran Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, termasuk kegiatan illegal, unregulared, unreported (IUU) fishing, dan pelanggaran kedaulatan oleh coast guard atau penjaga pantai RRT di perairan Natuna.

(Baca: KRI Tjiptadi-381 TNI AL Usir Kapal Tiongkok yang Masuk Perairan Natuna)

ZEE Indonesia ditetapkan berdasarkan United Nations Convention for the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB. ZEE dikategorikan sebagai kawasan yang berjarak 200 mil dari pulau terluar, dalam hal ini Natuna. Tiongkok sebagai bagian dari UNCLOS, harus menghormatinya.

Kementerian Luar Negeri menegaskan kembali bahwa Indonesia tidak memiliki overlapping jurisdiction dengan Tiongkok. Indonesia tidak akan pernah mengakui 9 dash-line Tiongkok karena penarikan garis tersebut bertentangan dengan UNCLOS sebagaimana diputuskan melalui Ruling Tribunal UNCLOS tahun 2016.

"Tiongkok adalah salah satu mitra strategis Indonesia di Kawasan dan kewajiban kedua belah pihak untuk terus meningkatkan hubungan yang saling menghormati, dan membangun kerjasama yang saling menguntungkan."

Namun, Pemerintah Tiongkok menolak protes Indonesia. Pihak Beijing justru mengklaim kedaulatan di wilayah Laut Cina Selatan yang berdekatan dengan Natuna.

(Baca: Marak Pencurian Ikan di Natuna, Menteri Edhy Perketat Pengawasan)

"Tiongkok memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan memiliki hak yuridiksi atas perairan dekat dengan Kepulauan Nansha," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Geng Shuang, dalam jumpa pers di Beijing pada Selasa (31/12) lalu, seperti dikutip dari situs Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Geng menegaskan bahwa Tiongkok juga memiliki hak historis di Laut Cina Selatan. Menurutnya, nelayan-nelayan Tiongkok telah lama melaut dan mencari ikan di laut sekitar Kepulauan Nansha.

Padahal, klaim Tiongkok atas perairan itu juga tumpang tindih dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Bahkan, kepulauan yang oleh Tiongkok disebut Nansha itu juga memiliki nama lain, yakni Kepulauan Spratly.

Sidang sengketa yang digelar di Den Haag pada Juli 2016 telah memutuskan bahwa Tiongkok tidak mempunyai landasan hukum dalam berbagai tindakannya, termasuk membangun pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan. Sidang digelar atas tuntutan pemerintah Filipina yang juga mengaku mempunyai kedaulatan di Kepulauan Spratly.

Sebaliknya, meski berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan Tiongkok di perairan tersebut. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara yang mendukung kode etik Laut Cina Selatan segera diterapkan untuk mencegah konflik.

Laut Cina Selatan adalah bagian dari Samudera Pasifik yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan. Dengan luas mencapai 3,5 juta kilometer persegi, perairan ini menjadi jalur utama bagi sepertiga pelayaran dunia. Selain itu, perairan ini juga punya potensi perikanan, serta cadangan minyak dan gas bumi yang besar.

Menurut “Limits of Oceans and Seas, 3rd Edition” (1953) yang dirilis oleh Organisasi Hidrografi Internasional (IHO), Laut Cina Selatan terletak di sebelah selatan Tiongkok, timur Vietnam, barat Filipina, bagian timur semenanjung Malaya, Sumatera, dan Singapura, serta utara Kepulauan Bangka Belitung dan Kalimantan.

(Baca: Premier Oil Mulai Salurkan Gas dari Proyek BIGP Blok Natuna)

Kemudian, dalam draf edisi ke-4 (1986), IHO mengusulkan pembentukan Laut Natuna, sehingga batas selatan Laut Cina Selatan digeser ke utara dan berbatasan dengan Kepulauan Natuna di sisi timur.

Potensi ekonomi yang besar dengan ratusan pulau tak berpenghuni membuat Laut Cina Selatan diperebutkan oleh berbagai negara. Mereka saling klaim hingga menimbulkan perbedaan penyebutan nama kepulauan, seperti Tiongkok dengan Nansha dan Filipina yang menyebutnya Spratly.

Reporter: Antara