Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM Arifin Tasrif menyatakan kuota BBM jenis solar subsidi cukup hingga akhir 2019. Dia bahkan menyebut penyaluran solar oleh Pertamina berjalan normal.
Dia pun heran dengan isu yang menyebut adanya kelangkaan solar di masyarakat. "Masih oke , itu yang ribut-ribut kenapa ya," ujar Arifin di Gedung Kementerian ESDM, Senin (18/11).
Pelaksana tugas Dirjen Migas Djoko Siswanto menambahkan pemerintah menjamin kesediaan solar di masyarakat. Jika konsumsi sudah melebihi kuota, pemerintah akan meminta Pertamina menambah pasokan solar.
"Dalam perundang-undangan, pokoknya kebutuhan masyarakat berapa pun harus terpenuhi supaya tidak ada kelangkaan. Kalau nanti setelah diperiksa BPK ada kelebihan ya di bayar," kata Djoko.
Kementerian ESDM mencatat kuota subsidi solar yang tersalurkan hingga Oktober 2019 sebanyak 13,3 juta kiloliter (KL). Sedangkan alokasi kuota solar yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 14,5 juta. "Masih sisa 1,2 juta KL," kata Djoko.
(Baca: Pertamina Tambah Suplai Hingga 20% Demi Amankan Pasokan Solar)
Biarpun masih tersisa 1,2 juta KL, namun Pertamina terpaksa menambah pasokan BBM jenis solar sebesar 20% dari konsumsi harian Januari hingga Oktober 2019 sebesar 40 ribu KL untuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan pihaknya terus memantau penyaluran solar subsidi.
Terlebih lagi pada bulan depan akan memasuki masa libur Natal dan Tahun Baru yang bisa menyebabkan kenaikan konsumsi BBM termasuk solar. "Ya sejauh ini masih kami monitor," ujar Fajriyah ke Katadata.co.id pada Senin (18/11).
Fajriyah pun berharap penyaluran BBM bersubsidi bisa tepat sasaran. Sebab, BBM bersubsidi kerap dikonsumsi masyarakat yang secara ekonomi tergolong mampu.
Padahal dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014, BBM tertentu termasuk solar bersubsidi hanya diperuntukkan bagi industri rumah tangga, usaha mikro, usaha pertanian, usaha perikanan, transportasi dan pelayanan umum, termasuk juga kendaraan pribadi dengan kapasitas mesin yang kecil.
Pada September lalu, BPH Migas sempat menerbitkan surat edaran yang membatasi konsumsi solar subsidi untuk beberapa jenis kendaraan. Pembatasan konsumsi solar berlaku bagi truk roda enam maksimal 60 liter per hari. Sedangkan kendaraan roda empat dibatasi 30 liter.
Dengan cara itu, BPH Migas berharap kuota solar subsidi cukup hingga akhir tahun. Namun pembatasan tersebut dicabut karena mendapat tekanan dari pelaku usaha.
BPH Migas pun akhirnya hanya menghimbau agar pengguna truk membeli solar non subsidi. Lembaga tersebut pun memproyeksi kuota solar 2019 bakal habis pada November ini.
(Baca: Jaga Daya Beli, BPH Migas Cabut Pembatasan Konsumsi Solar Subsidi)
Jika konsumsi solar subsidi melebihi kuota yang ditetapkan pemerintah, dampaknya subidi energi akan lebih besar dari pagu anggaran dalam APBN 2019. BPH Migas memproyeksi penyaluran subsidi BBM 2019 mencapai Rp 33,83 triliun, atau 0,8% lebih besar dibandingkan pagu APBN sebesar Rp 33,55 triliun. Hingga Mei 2019, realisasi subsidi BBM jenis solar sudah mencapai Rp 12,23 triliun.
Pada tahun lalu, pemerintah pun harus membayar subsidi lebih besar dari APBN 2018. Pemerintah mencatat anggaran subsidi mencapai Rp 216,88 triliun atau membengkak 38,82% dari APBN tahun lalu sebesar Rp 156,23 triliun. Belanja subsidi tersebut juga naik 30,42% dari realisasi tahun anggaran 2017 yang hanya sebesar Rp 166,4 triliun.
Ketiga jenis belanja subsidi tersebut setara dengan sekitar 70% dari total. Realisasi belanja subsidi terbesar 2018 adalah untuk subsidi elpiji, yakni mencapai Rp 58,14 triliun (naik 50% dari tahun sebelumnya). Kemudian, diikuti subsidi listrik Rp 56,5 triliun (naik 11,69%) dan subsidi minyak solar Rp 35,5 triliun (naik 440%). Data selengkapnya terkait realisasi belanja subsidi tahun lalu dalam grafik Databoks berikut ini :