Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mempertimbangkan langkah lanjutan terkait vonis bebas atas Direktur Utama PLN Sofyan Basir dalam kasus korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau 1.
"Nantinya kami akan menentukan langkah apakah kasasi atau yang lain. Kami pelajari dulu putusannya," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK Ronald Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (4/11).
Ronald mengaku cukup kaget dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Namun, pihaknya menghormati putusan tersebut. Ia pun menepis bila ada anggapan bahwa vonis bebas tersebut menunjukkan dakwaan lemah.
(Baca: Alasan Hakim Bebaskan Sofyan Basir Dalam Kasus Suap PLTU Riau-1)
“Itu tidak benar karena kami sudah membuat surat dakwaan sesuai dengan hasil penyidikan," kata dia. Ia menyatakan pihaknya akan mempelajari pertimbangan-pertimbangan hakim dalam waktu tujuh hari untuk kemudian menentukan sikap.
Sebelumnya, Jaksa KPK menuntut Sofyan dengan pidana lima tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Jaksa menilai Sofyan terbukti membantu terjadinya tindak pidana suap meski tak menikmati uang tersebut.
Sofyan diduga memfasilitasi pertemuan yang berujung suap antara Anggota Komisi VII Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan pemegang saham Blakgold Natural Resources Johannes Budisutrisno Kotjo.
(Baca: KPK: Empat Peran Sofyan Basir Terkait Proyek PLTU Riau 1)
Namun, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Sofyan tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi. Tiga orang yang tersangkut bersama Sofyan telah divonis bersalah dan sedang menjalani hukuman. Johanes divonis 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp 250 juta berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kemudian, Idrus yang juga mantan Menteri Sosial divonis lima tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan. Sedangkan Eni Maulani Saragih divonis enam tahun penjara ditambah denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan, dan kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.