Pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI Jakarta 2020 menjadi perhatian masyarakat. Temuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI mengenai anggaran pembelian lem aibon senilai Rp 82 miliar dan anggaran pembelian pulpen Rp 124 miliar dari Sudin Pendidikan Jakarta Timur menuai polemik.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut kejanggalan anggaran tersebut disebabkan oleh kesalahan di sistem e-budgeting (penganggaran elektronik). Sistem yang digunakan sejak Basuki Tjahaja Purnama (BTP/Ahok) menjadi gubernur DKI Jakarta itu dinilai rentan kesalahan. Pasalnya, anggaran yang sudah dimasukkan harus diverifikasi secara manual oleh manusia.
"Setiap tahun saya perhatikan staf memasukkan angkanya dulu, toh nanti dibahas karena dalam pembahasan nanti rekening dan komponennya disamakan. Kalau sistemnya smart maka dia akan melakukan verifikasi untuk kegiatan a, b, c, itu tidak logis kalau dilakukan dengan angka yang tidak proporsional," kata Anies, di Jakarta, Rabu (30/10). Oleh karena itu, Anies berencana mengganti e-budgeting dengan sistem yang lebih pintar.
(Baca: Heboh Anggaran Besar Lem Aibon dan Bolpoin dalam APBD 2020 DKI Jakarta)
Digagas Jokowi dan Diterapkan Sejak Ahok Jadi Gubernur
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan sistem e-budgeting yang digunakan dalam penyusunan anggaran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta? Sejarah e-budgeting dimulai sejak Joko Widodo (Jokowi) dan Ahok masih menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta pada 2013.
Seperti dilansir Kompas.com, Jokowi mengajukan penggunaan e-budgeting kepada DPRD DKI Jakarta untuk mengontrol anggaran secara terbuka. Sistem penganggaran elektronik itu penting untuk mencegah adanya anggaran 'siluman' atau permainan antara legislatif dan eksekutif.
Dengan e-budgeting, hanya pihak-pihak yang memiliki otoritas tertentu yang memiliki kata sandi (password) untuk memasukkan atau mengubah angka dalam anggaran tersebut. Keberadaan sistem penganggaran elektronik ini dikukuhkan dengan diterbitkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 145 tahun 2013. Namun, Pergub tersebut baru dilaksanakan ketika Ahok menjadi gubernur.
Ahok pernah bersitegang dengan DPRD DKI Jakarta dalam pembahasan APBD. Ia mencoret anggaran senilai Rp 1,5 triliun. Anggaran itu disebutnya sebagai anggaran siluman karena bawahannya dipaksa memasukkan sejumlah tambahan anggaran oleh oknum anggota DPRD.
Sistem ini diklaim mampu menyelamatkan anggaran Pemprov DKI hingga triliunan rupiah. Bahkan, sistem ini mendapat penghargaan dari Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). Menurut beritasatu.com, Pemprov DKI Jakarta meraih Anugerah Pangripta Nusantara (APN) 2016 dan Millenium Development Goals (MDGs) 2016.
Ada empat kategori yang dimenangkan DKI Jakarta, yakni Provinsi dengan Perencanaan Terbaik, Provinsi dengan Perencanaan Inovatif, Provinsi dengan Perencanaan Progresif, dan Provinsi dengan Pencapaian MDGs Tertinggi pada 2015. Salah satu faktor yang menunjang kemenangan DKI adalah penggunaan e-budgeting dalam penyusunan APBD.
(Baca: Ahok dan Anies Berseteru, Buntut Anggaran Janggal di APBD Jakarta)
Pengakuan dari KPK dan Percontohan bagi Daerah Lain
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengakui keunggulan sistem e-budgeting dan meminta provinsi lain mengikuti langkah Pemprov DKI Jakarta. Masyarakat bisa melihat dan mengontrol anggaran pemerintah daerah karena bisa dilihat di situs apbd.jakarta.go.id.
"Kami lihat sistem e-budgeting ini sudah bagus. Harapan kami, semua aplikasi yang ada di DKI nanti menjadi model di provinsi yang lain," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan, di Jakarta, seperti dikutip Detikcom, Rabu (4/10/2017).
Presiden Jokowi pun telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dengan cakupan yang lebih luas. Layanan yang diatur dalam Perpres SPBE tersebut mencakup e-Procurement, e-Perizinan, e-Office, e-Planning, e-Budgeting, e-Monev, e-Pengaduan, e-Kesehatan, e-Pendidikan, hingga e-Kepegawaian dan e-Pensiun. "Perpres penerapan e-Budgeting, e-Planning, dan e-Government secara terintegrasi untuk memperkecil ruang korupsi sistematis," kata Jokowi.
(Baca: Sri Mulyani Akan Turun Tangan Urus Anggaran Janggal APBD Jakarta)
Transparansi Anggaran di Era Anies
Selama periode 2016 hingga 2018, Pemprov DKI Jakarta menyusun Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) lalu diunggah di situs apbd.jakarta.go.id. Ketika anggaran dibahas dengan DPRD, program yang anggarannya dinilai terlalu besar bisa dikurangi. Program yang dinilai aneh atau tak masuk akal juga bisa dicoret.
Setelah pembahasan anggaran selesai, kesimpulan pembahasan akan diunggah kembali ke situs APBD. Di situ masyarakat bisa melihat berapa total nilai APBD, berapa besar alokasi belanja, dan pendapatan pemerintah daerah.
Berbeda kisahnya dengan RAPBD DKI Jakarta 2020 yang tidak diunggah di situs APBD. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, Sri Mahendra Satria Wirawan, mengatakan pihaknya belum pernah mengunggah dokumen KUA-PPAS 2020. "KUA-PPAS akan diunggah setelah disetujui DPRD DKI Jakarta. Dengan demikian dokumen yang diunggah memiliki kekuatan hukum," kata Mahendra, Rabu (30/10), seperti dikutip Kompas.com.
Hal yang berbeda disampaikan Anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) William Aditya Sarana. Ia melihat anggaran itu bisa dilihat pada Jumat (11/10) siang, tetapi sore harinya sudah ditutup.
Namun, ia berhasil mengecek tautan yang ada di situs pencarian dan merekam data tersebut. William kemudian mengunggah foto berisi rencana anggaran Dinas Pendidikan DKI Jakarta untuk pembelian lem Aibon senilai Rp 82,5 miliar tersebut melalui akun Twitternya.
(Baca: Sri Mulyani Masih Kaji Anggaran Terkait Rencana Provinsi Baru di Papua)