Gagal Paham RUU PKS, Dianggap Pro-LGBT dan Melenceng dari Agama

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Massa demo tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) di depan gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat (17/9).
Penulis: Sorta Tobing
25/9/2019, 17.16 WIB

Masa kerja Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 akan berakhir dalam hitungan hari. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tak juga disahkan meskipun pembahasannya sudah memakan waktu lima tahun.

Kondisinya berbeda dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Anggota DPR yang biasanya “malas” malah secepat kilat bekerja. Dalam 13 hari aturan itu berhasil ditetapkan.

Kondisi itu tentu membuat kecewa banyak pihak, terutama para perempuan. RUU PKS sejatinya merupakan payung hukum untuk mencegah bertambahnya korban kekerasan seksual di negara ini.

“RUU PKS ini pro-korban dan bisa menjadi payung hukum yang kuat,” kata juru bicara Koalisi Ruang Publik Aman Rika Rosviati saat berorasi di depan Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (17/9), seperti dikutip dari Antara.

Selain melindungi korban, rancangan undang-undang itu bertujuan untuk mencegah korban kekerasan seksual kembali menjadi pelaku di masa mendatang.

Sayangnya, penolakan aturan ini datang dari kelompok kanan. Mereka menghembuskan isu kalau RUU PKS terlalu liberal, tak sesuai norma agama, dan melegalkan kelompok, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

(Baca: Foto: Gelombang Kedua Mahasiswa Menghadang Undang-undang Kontroversial)

Rika menilai tudian tersebut terjadi karena ada kelompok yang tidak memahami dan membaca draft secara menyeluruh. "Sebetulnya jika mereka membaca dokumennya dengan baik, tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan LGBT," ujar perempuan yang akrab disapa Neqy itu.

Terkait tudingan tidak berdasarkan Pancasila, justru yang terjadi sebaliknya. Salah satu pasal RUU itu menyebutkan sila kedua ideologi negara ini, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

RUU PKS menjadi mendesak, menurut Neqy, karena banyak perempuan menjadi korban kriminalisasi. Kasus Baiq Nuril, contohnya. “Kasus itu merupakan pembelajaran yang baik sekali bagaimana korban pelecehan seksual malah dikriminalisasi dan masuk penjara, sementara pelakunya bebas,” katanya.

Majelis Ulama Indonesia sebelumnya berharap seluruh partai politik menolak RUU PKS disahkan menjadi undang-undang. “Walaupun baru dua partai, yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Amanat Nasional, mudah-mudahan 10 partai menolak,” kata Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Didin Hafidhuddin.

Menurut dia, RUU PKS perlu pembahasan lebih dalam. Tidak mungkin juga dioper ke DPR mendatang karena bahannya belum siap. Karena itu, MUI menilai saat ini Indonesia lebih membutuhkan Undang-Undang Pertahanan Keluarga.

(Baca: KontraS Desak Usut Polisi Pelaku Kekerasan terhadap Mahasiswa)

Jumlah Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Meningkat

Alasan MUI tersebut semakin melenceng dari semangat yang dibawa dalam RUU PKS. Perlindungan terhadap perempuan saat ini menjadi penting. Pasalnya, kasus kekerasan terhadap kaum Hawa dalam 10 tahun terakhir terus meningkat.

Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, pada 2018 terjadi peningkatan kasus sebesar 16,6% dibandingkan 2017 menjadi 406.178 kasus.

Komnas Perempuan juga melihat selama satu dekade ini ada tren yang menunjukkan semakin banyak korban kekerasan berani melapor. Selain itu, tingkat kepercayaan dan kebutuhan korban terhadap lembaga-lembaga penyedia layanan pendampingan kasus kekerasan juga meningkat.

Kasus kekerasan seksual sepanjang 2019 banyak terjadi di wilayah tempat tinggal. Komnas Perempuan menyebutkan pelaku kekerasan tertinggi dilakukan oleh teman dan tetangga. Grafik Databoks berikut ini menunjukkan lokasi rawan kejahatan seksual terhadap perempuan.

Para aktivis perempuan berpendapat, penundaan RUU PKS justru mempermainkan dan menyakiti perasaan seluruh korban di Indonesia. Apalagi dialog yang terjadi justru dimaknai secara negatif.

"Pengabaian dan penolakan ini menunjukkan bangsa Indonesia telah dikuasai oleh sekelompok orang yang ingin mempertahankan “budaya perkosaan," dan justru melanggengkan para pelaku kejahatan seksual serta sama sekali tidak berempati pada korban," kata akademisi dan pegiat perempuan Yulianti.

(Baca: Ketika Mahasiswa di Penjuru Daerah Bergerak Tolak UU Kontroversial)

Sementara itu, DPR berdalih tertundanya RUU PKS karena saat ini mereka masih mentok membahas tiga hal. Pertama, mengenai judul RUU. Lalu, definisinya.

“Teman-teman anggota panja (panitia kerja) menganggap kalau dipahami sebaliknya UU ini terlalu bebas,” kata Wakil Ketua Komisi VIII Marwan Dasopang pada 19 September lalu.

Yang ketiga, soal pidana dan pemidanaan. Banyak anggota panja, menurut Marwan, yang keberatan bila undang-undang ini bertentangan dengan induknya, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidanan (KUHP).

Saat ini pun RUU KUHP tertunda pengesahannya karena penuh pasal kontroversial. Banyak ranah privat yang dipersoalkan dan masuk pidana. Karena itu, DPR saat ini dianggap lebih peduli dengan orang berzina daripada korban kekerasan seksual.

Marwan mengatakan kalau urusan pidana ini selesai maka tinggal tersisa dua masalah yakni judul dan definisi. “Yang dikhawatirkan adalah judul dan definisi menjadi liberal atau membolehkan pintu masuk LGBT,” katanya.

(Baca: Jokowi Minta Tunda Pembahasan RKUHP, Serius atau Pencitraan?)

Reporter: Antara