Gerakan Mahasiswa, dari Boedi Oetomo, Reformasi, hingga Bela KPK

ANTARA FOTO/MOCH ASIM
Pengunjuk rasa memotret spanduk hitam yang dipasang di gedung Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) saat menggelar aksi #SaveKPK di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/9/2019). Aksi yang diikuti mahasiswa, dosen dan masyarakat Surabaya tersebut menolak revisi UU KPK karena dianggap akan melemahkan KPK dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia.
Penulis: Pingit Aria
23/9/2019, 13.04 WIB

Sejumlah elemen mahasiswa menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR pada Senin-Selasa (23-24 September 2019). Unjuk rasa mahasiswa digelar untuk menentang upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Demonstran menuntut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk membatalkan revisi Undang-undang KPK yang baru disahkan pada Selasa, 17 September 2019, pekan lalu.

Selain itu, mahasiswa juga menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Beberapa pasal di dalamnya masih dianggap bermasalah.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, Jokowi tak bisa mengabaikan kritik yang disampaikan mahasiswa, termasuk melalui unjuk rasa yang sudah digelar di Gedung DPR, Jakarta pada Kamis (19/9) lalu. Pasalnya, gerakan mahasiswa punya peran besar dalam peralihan kekuasaan di Indonesia.

"Jadi kalau dia anggap sepi gerakan kampus, sejarah telah membuktikan bahwa peralihan kekuasaan itu justru karena gerakan-gerakan mahasiswa," kata Ray dalam sebuah diskusi di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Minggu (22/9).

(Baca: Jokowi Didesak Terbitkan Perppu untuk Batalkan Revisi UU KPK)

Sejarah gerakan mahasiswa Indonesia telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan. Boedi Oetomo adalah wadah perjuangan pertama di Indonesia memiliki struktur organisasi modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh mahasiswa lembaga pendidikan STOVIA.

Pada saat yang hampir bersamaan, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, termasuk Mohammad Hatta mendirikan Indische Vereeninging yang merupakan cikal bakal Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.

Organisasi-organisasi tersebut merupakan penanda munculnya kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai penggerak perubahan dalam sejarah Indonesia.

Beberapa tahun setelahnya, semakin banyak organisasi pemuda dan mahasiswa muncul di berbagai kota. Kemudian, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) mendorong ide persatuan hingga melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.

Perjuangan menjelang proklamasi kemerdekaan pun tak bisa dilepaskan dari peran para pemuda dan mahasiswa. Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok oleh kelompok Chairul Saleh dan Soekarni. Di sana, mereka mendesak proklamasi segera dilakukan.

(Baca: DPR Masih Pertimbangkan Tunda Pengesahan RUU KUHP)

Sejak kemerdekaan, aliansi kelompok mahasiswa semakin marak, meski banyak yang berafiliasi dengan partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Concrentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Himpunan Mahasiswa Islam dekat dengan Masyumi.

Kemudian, pada 1965-1966, beberapa kelompok pemuda dan mahasiswa Indonesia terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66.

Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru. Di antaranya, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, Akbar Tanjung, dll.

Memasuki 1970, kritik terhadap Orde Baru mulai bermunculan. Di antaranya, ada seruan untuk tidak memilih (Golput) pada Pemilu 1972 karena Golkar dinilai curang. Motor gerakan ini adalah Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, hingga Asmara Nababan.

Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 juga menuai polemik karena penggusuran besar-besaran. Selain itu, isu kenaikan harga beras, hingga korupsi juga memicu unjuk rasa di berbagai titik. Sedangkan demonstrasi besar dilakukan untuk memprotes kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka, hingga peristiwa Malari pada 15 Januari 1974.

(Baca: Tiga Revisi Aturan Kontroversial di Masa Akhir Anggota Dewan)

Seruan “Turunkan Suharto!” pertama kali terdengar pada 1977. Saat itu, aksi mahasiswa tidak lagi berporos di Jakarta, namun meluas hingga kampus-kampus di Bandung dan Surabaya. Berbagai aksi ini selalu berhasil digagalkan hingga 1998.

Gerakan mahasiswa pada 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Lewat pendudukan gedung DPR/MPR, ribuan mahasiswa memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya.

Dari Jakarta, unjuk rasa juga meluas di berbagai daerah, dan tak jarang diwarnai bentrokan. Di Yogyakarta misalnya, bentrokan mahasiswa dan apparat terjadi di Gejayan pada 8 Mei 1998. Seorang mahasiswa Universitas Sanata Dharma (USD) bernama Moses Gatutkaca meninggal dunia dalam peristiwa itu.

Tagar #GejayanMemanggil pun menjadi topik terpopuler di jagat maya. Para aktivis menggunakan tagar tersebut di Twitter, Facebook dan Instagram sebagai seruan untuk berunjuk rasa hari ini.

Reporter: Dimas Jarot Bayu