Ratusan mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil berunjuk rasa di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Kamis (19/9). Mereka berunjuk rasa menolak dan mengecam berbagai revisi aturan yang dibahas DPR dan pemerintah.
Adapun ratusan massa yang berunjuk rasa itu berasal dari berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indraprasta PGRI, Universitas Moestopo, Universitas Trisakti, dan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran.
Massa mengecam berbagai perubahan aturan yang tengah dibahas maupun telah disahkan seperti Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
(Baca: DPR dan Pemerintah Siap Sahkan Rancangan KUHP meski Banyak Penentangan)
Berdasarkan pantauan katadata.co.id, para mahasiswa yang berunjuk rasa meluber hingga memenuhi ruas jalan Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Mereka membawa sejumlah spanduk dan poster yang berisi berbagai penolakan revisi aturan tersebut.
Kepala Departemen Kajian Strategis BEM UI Elang ML mengatakan, unjuk rasa dilakukan karena berbagai RUU yang dibahas DPR dan pemerintah tak berpihak kepada masyarakat. Selain itu, RUU tersebut bertentangan dengan semangat reformasi, salah satunya RKUHP.
Dalam RKUHP terdapat pasal untuk memidanakan orang yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden, sebagaimana termaktub dalam Pasal 218-220.
Menurut Elang, pasal-pasal tersebut rentan disalahgunakan untuk memidanakan orang yang mengkritik Presiden atau Wakil Presiden. Sebab, tak ada parameter yang jelas terkait apa saja yang dianggap menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden.
“Atas dasar apa dianggap saya merendahkan Anda atau tidak. Jangan sampai ketika kritik malah dianggap merendahkan martabat,” kata Elang.
(Baca: Rentan Jadi Alat Kriminalisasi, RUU KUHP Disebut Libatkan Masyarakat)
Menurutnya, pasal-pasal tersebut sebenarnya sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 tahun lalu. Ini dikarenakan pasal-pasal tersebut tak kompatibel dengan demokrasi. Sebab, dalam demokrasi, tidak ada orang yang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan lainnya. semua orang sama di mata demokrasi.
Karenanya, dia mengaku heran mengapa pasal-pasal itu bisa muncul lagi dalam RKUHP. “Kita sudah kembali ke kultur orba (orde baru) dalam pembentukan Undang-undang,” kata Elang.
Orator perwakilan dari Keluarga Mahasiswa (KM) ITB menilai tengah ada upaya pelemahan pemberantasan korupsi oleh DPR dan pemerintah. Hal ini terlihat dari adanya UU KPK yang baru disahkan dan terpilihnya lima pimpinan baru komisi antirasuah.
Karenanya, dia menolak berbagai hal tersebut. “Jangan sampai kita biarkan elemen pemberantasan korupsi dihancurkan begitu saja,” katanya.
Sementara itu, Co-Director Hollaback Jakarta Anindya Restuviani mengatakan, RKUHP yang tengah digodok DPR dan pemerintah mendiskriminasi perempuan. Sebab, ada pasal yang dapat memidanakan orang yang menggugurkan kandungan atau aborsi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 251, 470, 471, dan 472.
“Bayangkan mereka enggak boleh lakukan aborsi saat diperkosa,” kata Restuviani atau akrab disapa Vivi.
Lebih lanjut, Vivi menilai RKUHP bermasalah karena dapat memidanakan gelandangan. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 433 RKUHP.
Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan denda paling banyak Rp 1 juta. “Sudah miskin malah didenda Rp 1 juta. Itu karena mereka enggak pernah di jalan, enggak pernah merasakan miskin,” kata Vivi.