Pengamat Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti mengatakan janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Nawacita tidak terbukti. Hal itu ditandai dengan revisi Undang Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disahkan oleh DPR hari Selasa (18/9) kemarin.
Salah satu poin Nawacita berbunyi Jokowi akan melakukan reformasi sistem dan penegakkan hukum yang bebas korupsi. Namun, Bivitri menyebut Presiden malah tidak berkomitmen memperkuat komisi antirasuah tersebut dengan memuluskan revisi UU KPK.
”Tidak terbukti sama sekali," kata Bivitri ketika dihubungi Katadata.co.id, Selasa, (17/9).
(Baca: Poin-poin UU KPK yang Disahkan DPR, Semua Usulan Jokowi Disetujui)
Bivitri juga menyayangkan Jokowi yang tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) untuk membatalkan revisi UU KPK. Padahal di periode kedua ini, Jokowi bisa bekerja lepas sehingga bisa melakukan segala kebijakan yang mendukung kerja KPK.
“Sebab dia wewenangnya tinggi karena sistem presidensial," sebutnya.
Bivitri menilai revisi UU otomatis akan memperlemah kinerja KPK. Dirinya mencontohkan penyadapan yang dilaporkan kepada Dewan Pengawas berpotensi memunculkan benturan kepentingan.
"Apalagi Dewan Pengawas dipilih oleh Presiden,” katanya.
(Baca: Yasonna: Dewan Pengawas KPK dari Tokoh Masyarakat Hingga Penegak Hukum)
Sebelumnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly menjelaskan Dewan Pengawas KPK akan berisikan lima orang yang dipilih Jokowi dari berbagai elemen. Nantinya, Presiden akan membuat Panitia Seleksi (Pansel) untuk menyaring calon anggota Dewan Pengawas.
“Bisa dari tokoh-tokoh masyarakat, akademisi, dan aparat penegak hukum yang pas,” kata Yasonna.