Penjelasan Jokowi soal Izin Penyadapan KPK lewat Dewan Pengawas

ANTARA FOTO/MOCH ASIM
Aksi #SaveKPK di Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Jawa Timur, Selasa (10/9/2019). Aksi yang diikuti mahasiswa, dosen dan masyarakat Surabaya tersebut menolak revisi UU KPK karena dianggap akan melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
13/9/2019, 12.31 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) setuju Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memerlukan izin Dewan Pengawas saat melakukan penyadapan. Persetujuan Jokowi itu sesuai dengan poin di dalam revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Menurut Jokowi, KPK tetap perlu meminta izin melakukan penyadapan demi menjaga kerahasiaan. Hanya saja, izin itu tak perlu berasal dari pihak eksternal.

“KPK cukup meminta izin internal Dewan Pengawas,” kata Jokowi di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (13/9).

(Baca: Jokowi Setuju SP3, Status ASN, dan Dewan Pengawas Masuk Revisi UU KPK)

Jokowi menilai penting pembentukan Dewan Pengawas KPK ini bertujuan memenuhi prinsip check and balances.

Jokowi mengatakan, Dewan Pengawas dibutuhkan untuk meminimalisir potensi penyalahgunaan kewenangan. “Jadi kalau ada Dewan Pengawas saya kira itu sesuatu yang juga wajar dalam proses tata kelola yang baik,” ucap Jokowi.

Hanya saja, Jokowi menilai anggota Dewan Pengawas harus berasal dari berbagai elemen masyarakat, baik akademisi maupun pegiat antikorupsi. Dia tak ingin anggota Dewan Pengawas berlatar politisi, birokrat, atau aparat penegak hukum aktif.

Lebih lanjut, Jokowi menilai mekanisme pengangkatan Dewan Pengawas dilakukan oleh Presiden dan dijaring melalui Panitia Seleksi. Selain itu, Jokowi ingin memastikan adanya waktu transisi yang memadai terkait pembentukan Dewan Pengawas.

“Untuk menjamin KPK tetap menjalankan kewenangannya sebelum terbentuknya Dewan Pengawas,” kata dia.

(Baca: Wakil Ketua KPK Saut Situmorang Mundur, Jokowi: Itu Hak Setiap Orang)

Selain itu, Jokowi sepakat perlu adanya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di KPK. Hanya saja, batas waktu maksimal penerbitan SP3 terhadap suatu perkara adalah dua tahun.

Menurut Kepala Negara, SP3 diperlukan untuk memberikan kepastian hukum. Selain itu, penegakan hukum harus tetap menjamin prinsip-prinsip perlindungan HAM.

“Yang penting ada kewenangan KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan ataupun tidak digunakan,” ujarnya.

Poin lain yang disetujui pemerintah terkait pegawai KPK. Menurut Jokowi, pegawai KPK haruslah berstatus aparatur sipil negara (ASN).

Jokowi menilai status ASN juga diterapkan kepada pegawai di berbagai lembaga lainnya, seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). “Tapi saya menekankan agar implementasinya perlu masa transisi yang memadai dan dijalankan dengan penuh kehati-hatian,” katanya.

(Baca: Saut Situmorang Mengundurkan Diri dari Jabatan Wakil Ketua KPK)