Komisioner Cari Dukungan Presiden Jokowi Untuk Menolak Revisi UU KPK

ANTARA FOTO/APRILLIO AKBAR
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) bersiap memberikan keterangan pers tentang revisi UU KPK yang akan dilakukan DPR, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (5/9/2019). KPK menolak dilakukannya revisi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akan dilakukan DPR karena dinilai ada implikasi negatif pada kinerja KPK.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
6/9/2019, 17.43 WIB

Seluruh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menandatangani surat penolakan atas revisi Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada Jumat (6/9). Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, surat tersebut akan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal itu dilakukan para pimpinan KPK agar Jokowi dapat menolak rancangan undang-undang (RUU) KPK yang tengah dibahas DPR. Jika Jokowi nantinya menolak RUU KPK, maka DPR tak bisa lagi mengesahkannya.

"Surat kita akan kirim kepada Presiden, mudah-mudahan untuk dibaca, direnungkan, untuk kemudian mengambil kebijakan," kata Saut di kantornya, Jakarta, Jumat (6/9).

Pimpinan KPK menolak revisi aturan tersebut karena mengganggap dapat melemahkan kerja komisi antirasuah. Saut mengatakan hal ini terlihat dari adanya poin revisi yang membatasi kewenangan penyadapan.

(Baca: Revisi UU KPK Tak Sesuai Konvensi PBB, Wakil Ketua KPK: Lawan!)

Melalui penambahan Pasal 12B, penyadapan harus dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas. Padahal sebelumnya KPK tak perlu mendapatkan izin dari siapapun ketika melakukan penyadapan.

Lebih lanjut, Saut menilai RUU KPK tidak sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia pada 2006. Pasalnya, salah satu poin dalam UNCAC menyebutkan bahwa setiap negara harus mendirikan satu lembaga antikorupsi yang bebas dari kepentingan apapun.

Dengan adanya RUU KPK, Saut menilai poin UNCAC tersebut justru tidak bisa terealisasikan. Sebab, KPK nantinya tak lagi menjadi lembaga adhoc yang independen dalam memberantas korupsi.

KPK melalui revisi aturan tersebut akan berada pada cabang kekuasaan eksekutif. Hal ini tertera dalam perubahan Pasal 3 di UU KPK. "(RUU KPK) tidak penting, tidak terkait dengan UNCAC yang sudah kita ratifikasi tahun 2006," kata Saut.

(Baca: DPR Kebut Revisi UU KPK Agar Bisa Diterapkan Jajaran Pimpinan Baru)

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menilai revisi aturan ini dapat membawa komisi antirasuah ke ujung tanduk. Alasannya, RUU KPK dapat membuat independensi lembaga pemberantasan korupsi itu terancam.

Agus juga menilai revisi aturan nantinya dapat mempersulit dan membatasi proses penyadapan yang dilakukan KPK. Pembatasan juga berpotensi terjadi pada kebutuhan sumber daya manusia penyelidik dan penyidik.

Selain itu, Agus menilai RUU KPK akan menghilangkan kewenangan strategis KPK pada proses penuntutan. Bukan hanya itu, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN pun bakal terpangkas.

Persoalan lainnya karena adanya pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dan perkara yang tak menjadi perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria.

(Baca: Kontroversi Revisi UU KPK oleh DPR, Apa Kata Jokowi)

Reporter: Dimas Jarot Bayu