Pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Dinilai untuk Pemerataan Ekonomi

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Foto udara kawasan Bukit Nyuling, Tumbang Talaken Manuhing, Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (25/7/2019). Daerah yang menjadi bakal calon Ibu Kota Negara itu telah ditinjau oleh Presiden Joko Widodo pada bulan Mei lalu saat mengecek kelaikan lokasi terkait wacana pemindahan Ibu Kota Negara.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Pingit Aria
25/8/2019, 06.00 WIB

Pemindahan ibu kota dinilai bisa menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan ekonomi. Founder Bhineka Insitute Arya Sinulingga mengatakan, pemindahan ibu kota akan mendorong pemerataan penduduk sehingga memicu aktivitas ekonomi.

"Pemerataan paling cepat ialah melalui pemindahan ibu kota. Saya yakin ini kecepatannya kencang bukan main," kata dia dalam diskusi ‘Polemik: Gundah Ibu Kota Dipindah’, Jakarta, Sabtu (24/8).

Menurutnya, pembangunan infrastruktur akan sia-sia bila tidak diikuti dengan kehadiran penduduk. Sebab, mayoritas penduduk berada di Pulau Jawa.

(Baca: Ahli Hukum: Jokowi Tak Perlu Konsultasi DPR/MPR untuk Pindah Ibu Kota)

Terlebih lagi, lanjut Arya, luas Jawa tidak mencapai 7% dari total luas wilayah Indonesia. Sedangkan, lebih dari 50% penduduk Indonesia  berada di Jawa.

Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi mengatakan, pemindahan ibu kota dapat mendorong urbanisasi, sehingga terjadi pemerataan ekonomi. "Ini wajar wilayah ibu kota baru jadi makmur, ada urbanisasi," ujarnya.

(Baca: Banyak Keunggulan, Kalimantan Timur Jadi Opsi Ideal Ibu Kota Baru)

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada triwulan II 2019, Pulau Jawa dan Sumatera masih menjadi kontributor utama perekonomian nasional, masing-masing dengan porsi mencapai 59,11% dan 21,31%.

Sedangkan, kontribusi Pulau Kalimantan mencapai 8,01% terhadap perekonomian nasional. Kemudian, Sulawesi berkontribusi 6,34%, Bali dan Nusa Tenggara 3,06%, serta Maluku dan papua 2,17%.