Jokowi Isyaratkan Tak Setuju Amendemen UUD 1945 dan GBHN

Arief Kamaludin | Katadata
Presiden Jokowi menyampaikan pidato pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2018, di Gedung Nusantara, Jakarta, Kamis (16/8)
Penulis: Yura Syahrul
Editor: Yuliawati
15/8/2019, 06.15 WIB

Selain itu, PDIP membuka kemungkinan partai politik di luar koalisi Jokowi bergabung dalam paket pimpinan MPR. Syaratnya, partai tersebut harus mendukung amendemen UUD 1945.

(Baca juga: Pakar Sebut Amendemen UUD Jadi Celah Parpol Dikte Presiden)

Namun, rencana itu masih mengundang polemik. Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta agar usulan itu tidak terburu-buru. Apalagi, ujung dari amendemen itu adalah mengembalikan kewenangan MPR dan GBHN.

Alasannya, dinamika politik global saat ini sangat luar biasa. "Berbeda dengan 50 tahun lalu,” kata politikus Partai Golkar tersebut, seperti dikutip dari Antara. Karena itu, perlu kajian lebih dalam apakah GBHN perlu atau tidak.

Sementara itu, ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai tidak tepat alasan mengembalikan GBHN untuk menciptakan dasar pembangunan. Sebab, saat ini sudah ada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mengenai Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dalam undang-undang itu sudah ada rencana pembangunan jangka panjang, bukan hanya menengah. “Bentuknya undang-undang, artinya itu dibahas juga oleh DPR, partai-partai politik juga. Jadi tidak akurat kalau misalnya dikatakan kita tidak punya haluan negara," kata Bivitri.

Sedangkan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) mengingatkan agar wacana menghidupkan kembali GBHN melalui amendemen UUD 1945 tidak dijadikan sebagai komoditas politik. Apalagi saat ini Indonesia sudah punya sistem perencanaan pembangunan nasional melalui RPJMN.

Sistem itu adalah pengganti GBHN dan sudah berlaku sejak 2005. "Kita bertanya, sebetulnya untuk apa sih GBHN? Tujuannya apa? Apakah dengan tidak adanya GBHN sekarang tidak tercapai? Kalau tidak tercapai masalahnya di mana?" kata Letjen TNI Purn Agus Widjojo.

Halaman: