Iwan lantas tak sependapat dengan pernyataan Yusril. Menurut dia, bukan hanya institusi negara secara resmi saja yang bisa meminta atau melakukan audit forensik.
Ia mencontohkan audit forensik pernah dilakukan oleh Muhammadiyah dalam kasus terorisme di Klaten. Ketika itu, Iwan menjadi kuasa hukum dari orang yang meninggal dalam kasus tersebut. “Jadi saya tidak setuju kalau audit forensik hanya boleh dilakukan institusi resmi,” katanya.
Lebih lanjut, Iwan menyebut sudah lama ada permintaan audit forensik terhadap teknologi informasi KPU. Hanya saja, KPU tidak pernah menanggapi permintaan tersebut.
Alhasil, Iwan menilai wajar jika ada audit forensik dilakukan lembaga di luar institusi resmi negara. “Ini langkah check and balance,” kata Iwan.
(Baca: Profil Dua Saksi Ahli Tim Prabowo yang Persoalkan Situng KPU )
Mendengar perdebatan tersebut, Arief menilai persoalan audit forensik Situng KPU tak perlu dibahas lagi. Sebab, hasil penghitungan suara dalam Situng KPU tidak resmi.
Situng KPU hanyalah mekanisme KPU untuk keterbukaan, akses informasi, akuntabilitas, dan kontrol masyarakat terhadap hasil Pemilu 2019. Adapun, hasil resmi penghitungan suara Pemilu 2019 didapatkan dari rekapitulasi secara berjenjang. “Jadi kalau mau diadu, menurut undang-undang, adalah (hasil rekapitulasi) penghitungan suara secara berjenjang,” kata Arief.
Selain itu, Arief menyebut hasil penghitungan suara di Situng KPU tak akan dipakai oleh majelis hakim MK dalam memutus perkara. Menurut Arief, majelis hakim MK akan memeriksa C1 Plano berhologram dari masing-masing pihak. “Jadi yang dipakai adalah penghitungan suara secara manual,” kata Arief.