Penggiat Pemilu, Didik Supriyanto menyebutkan e-voting atau pemugutan suara elektronik, tidak relevan dilakukan pada pemilihan umum (Pemilu). Ia menilai jika penggunaan e-voting justru tidak transparan jika dilaksanakan.
Ia pun mencontohkan, bahwa sistem e-voting justru sudah tidak digunakan di sejumlah negara, seperti Jerman. Penyebabnya, sistem e-voting rawan untuk dimanipulasi, karena sistem elektronik mudah untuk diubah.
"Saya salah satu orang yang menolak untuk e-voting , karena tidak transparan dan rawan manipulasi jika diterapkan," ucap Didik saat menjadi pembicara pada acara Diskusi Pasca Pemilu di kantor Populi Center, Jakarta , Kamis (2/5).
Ia juga menjelaskan bahwa sistem pencoblosan sudah menggambarkan sistem demokrasi yang sebenarnya, karena hasilnya dapat dilihat oleh masyarakat. Nah, hal tersebut menurut Didik tidak ada di e-voting.
Pembenahan Pemilu menurutnya tidak membutuhkan e-voting, melainkan e-rekapitulasi, karena setelah pencoblosan, rekapitulasi secara elektronik dapat mempercepat proses dari penghitungan.
(Baca: Perludem: UU Pemilu Harus Dievaluasi Secara Menyeluruh)
Didik menambahkan, proses pemilihan dengan cara manual, dengan mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS), seperti yang sudah diteliti di beberapa negara, adalah sistem demokrasi yang sebenarnya dengan hasil transparan dan otentik.
Pendapat sedikit berbeda diungkapkan oleh peneliti senior Populi Center, Afrimadona. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan Indonesia menggunakan sistem e-voting dalam Pemilu. Namun, penggunaan sistem e-voting menurut Afrimadona perlu pembahasan yang panjang serta pertimbangan yang matang.
"Penggunaan e-voting menimbulkan beberapa hal yang cukup kompleks, apabila dilakukan dengan sistem komputerisasi yang ada saat ini," ujar Afrimadona.
Pembahasan mengenai penggunaan sistem e-voting sempat dicetuskan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Bambang Soesatyo. Usul tersebut ia kemukakan sebab DPR merasa kehadiran sistem Pemilu yang murah, efisien dan tidak rumit sangat dibutuhkan mengingat kejadian tragis yang harus dialami oleh petugas yang mengawal penyelenggaraan Pemilu.
Menurutnya, penyelenggaraan Pilpres dan Pileg secara serentak, sistem perhitungan suara dan sistem rekapitulasi suara manual yang melelahkan, waktu kampanye yang panjang serta penggunaan paku untuk mencoblos yang sangat primitif di jaman teknologi canggih era digital 4.0 harus segera dievaluasi dan diubah. Bambang menilai, e-voting bisa diuji coba pada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) mendatang.