Ketua KPU: Saya yang Paling Menderita Karena Banyak Petugas Gugur

ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY
Warga melintasi karangan bunga saat aksi dukacita untuk pahlawan demokrasi di Jakarta, Minggu (28/4/2019). Aksi tersebut dilakukan untuk mengenang 225 orang pejuang demokrasi yang terdiri dari petugas KPPS/KPU serta anggota Polri yang gugur saat mengawal proses Pemilu 2019.
29/4/2019, 19.32 WIB

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyampaikan unek-uneknya soal penyelenggaraan Pemilu 2019 yang mengalami banyak kendala seperti jatuhnya korban panitia pemilihan. Dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Arief mengaku tak ingin jatuh korban sedemikian banyak.

Hingga saat ini paling tidak ada 304 petugas yang meninggal terkait penyelenggaraan pemilu. Arief juga mengaku dituduh tidak bermoral atas penyelenggaraan pemilu yang dinilai tak manusiawi. Meski demikian, kemampuan KPU juga terbatas dalam mencegah ini.

"Dituduh tidak bermoral, saya yang paling menderita (akibat jatuh korban)," keluh Arief di Jakarta, Senin (20/4).

Dia mengaku sebenarnya enggan membicarakan beberapa hal sebelum penghitungan suara selesai. Namun KPU sebenarnya telah coba antisipasi beberapa hal untuk mengurangi waktu kerja yang padat, salah satunya maksimal Daftar Pemilih Tetap (DPT) per Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya 300 dari sebelumnya 500.

Selain itu, ketika perekrutan petugas sebenarnya telah disyaratkan sehat jasmani dan rohani. Meski demikian, ia mengakui lantaran sifatnya ad hoc, tidak ada tes kesehatan bagi petugas yang bukan pegawai resmi penyelenggara Pemilu 2019.

Arief juga terbuka untuk evaluasi pemilihan serentak yang sudah dijalankan saat ini. Namun dia mengaku akan melakukan evaluasi paling tidak setelah rekap penghitungan nasional rampung tanggal 22 Mei mendatang.

Dalam diskusi tersebut, wacana menutup peluang pemilihan serentak terlontar dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia menginginkan ke depannya, pemilihan dibagi menjadi dua yakni pemilihan di pusat dan daerah.

Pemilihan tingkat nasional melingkupi pemilihan presiden, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan daerah terdiri dari pemilihan gubernur, walikota, bupati, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, kabupaten, dan kotamadya.

"Presidential treshold juga sebaiknya dihapus karena mengakibatkan polarisasi dua kelompok," ungkap Titi.

Adapun Dosen Hukum Pidana Binus Ahmad Sofian menjelaskan, apabila menggunakan teori kausalitas ada lima tanggung jawab yang dibebankan pihak terkait. Pertama, kebijakan pemerintah dan DPR dalam menggabungka pemilihan presiden dan legislatif. Kedua, KPU yang tak mampu antisipasi kesulitan KPPS di lapangan.

Ketiga, kerja KPPS yang melampaui batas dan keempat soal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tak mampu mengawasi sulitnya proses pemilihan. Terakhir, ketiadaan fasilitas penunjang.

"Ini lima perbuatan yang dari sisi hukum menimbulkan kematian," kata dia.

(Baca: Kisah Para Pahlawan Pemilu yang Kelelahan hingga Meninggal)

Sebelumnya, pada acara diskusi bertajuk 'Silent Killer Pemilu Serentak' Sabtu (27/4), politisi PDIP Effendi Simbolan bereaksi keras terhadap gaung Pemilu 2019 yang dinilai gagal. Ia justru menyalahkan Mahkamah Konstitusi (MK) serta para pengaju judicial review yang akhirnya menggolkan pelaksanaan Pemilu serentak.

Hasil judicial review terkait Pemilu ia anggap menjadi biang rumitnya pelaksanaan Pemilu 2019 dan akhirnya menyebabkan banyak petugas KPPS kelelahan hingga meninggal dunia.

"Makanya, kalau ini dilakukan review atau uji materi yang lebih ke publik bisa juga. Karena pelaksanaan pemilu yang dikatakan gagal. Harus diperjelas gagalnya di mana," ujarnya

Ia juga menegaskan bahwa tidak adil seluruh beban tanggung jawab ditimpakan ke pundak KPU. Menurutnya tidak adil menyalahkan KPU karena dianggap tidak bisa menjalankan Pemilu serentak dengan baik, sehingga banyak masalah bermunculan.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution