Kisah Para Pahlawan Pemilu yang Kelelahan hingga Meninggal
Proses pencoblosan Pemilu 2019 pada 17 April pekan kemarin telah berlalu. Namun pesta demokrasi ini masih menyisakan sejumlah cerita, termasuk banyaknya petugas pemungutan suara yang bertumbangan sakit, bahkan hingga meninggal.
Rudi M Prabowo satu di antara mereka yang terenggut ajalnya ketika mengurus proses pemilu serentak ini, pemilu untuk menentukan anggota DPR daerah dan pusat, DPD, dan Presiden. Dia -Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Pisangan Baru, Matraman, Jakarta Timur- meninggal lima hari setelah pemungutan suara.
Menurut Inez (23), anak perempuan Rudi, ayahnya sempat memegangi kotak suara karena limbung. Ketika itu wajahnya pucat saat tengah bertugas. “Saat itu papa saya sedang menghitung surat suara C1,” kata Inez. Kemarin rumahnya ramai dikunjungi sanak-saudara untuk mengucapkan simpati dan duka cita. Ada persiapan untuk menggelar tahlilan.
(Baca: Ketua DPR hingga Ganjar Sepakat untuk Merevisi Pemilu Serentak)
Sukaesih (58), menyatakan suaminya selama ini tidak memiliki riwayat sakit. Dia dalam keadaan sehat sebelum menjalankan tugasnya sebagai Ketua KPPS. Rudi mulai mengeluh pusing ketika pemungutan suara berlangsung. Keluhan itu terus terjadi selama beberapa hari hingga akhirnya muntah-muntah dan mengembuskan napas terakhir pada 22 April 2019 pukul 13.30 WIB.
Lima hari setelah bertugas, Ketua KPPS ini pun berpulang kepada Sang Khalik. Meski sudah tidak ada pergerakan pada denyut jantung suaminya, Sukaesih tetap membawanya ke RSPAD di Matraman, Jakarta Timur, dengan harapan suaminya masih bisa tertolong.
Di rumah sakit tentara itu, dokter memberi bantuan pernapasan. Namun akhirnya tidak dapat diselamatkan. Dokter mendiagnosis bahwa Prabowo terkena serangan jantung akibat kelelahan.
Menurut Sukaesih, beberapa hari sebelum pencoblosan, suaminya sering pulang malam karena disibukkan dengan banyak tugas yang berkaitan dengan persiapan Pemilu 2019. Hingga saat pencoblosan, Rudi bahkan baru beristirahat pada pukul 02.00 WIB dini hari dan bangun pukul 05.00 WIB untuk menyiapkan pemungutan suara.
(Baca: Real Count KPU dari 270 Ribu TPS: Jokowi 56,02%, Prabowo 43,98% )
Pada saat pencoblosan, Rudi bekerja dari pukul 06.00 WIB sampai pukul 10.00 WIB keesokan harinya. Panjang rangkaian mulai dari persiapan, pemungutan suara, penghitungan suara hingga penyerahan kotak suara ke kecamatan. Dengan jadwal yang padat dan beban kerja yang berat, suaminya sering baru makan pada pukul 14.00 WIB, dan melewatkan beberapa kali jam makan berikutnya sampai keesokan harinya.
Meski jarak rumahnya dengan TPS tidak lebih dari 100 meter, suaminya tidak bolak-balik pulang. Ia bersikukuh untuk terus menjaga kotak suara di bawah kursi tempatnya duduk agar tidak terjadi kecurangan. Sembari berkisah, Sukaesih berkali-kali menyayangkan kejadian yang menyebabkan suaminya meninggal.
Pandangannya menerawang ke sebuah peristiwa yang membuat dia semakin rindu kepada suaminya. Sukaesih menyayangkan Pilpres 2019 dan Pileg 2019 dilaksanakan secara serentak pada tahun ini. Dampaknya, beban kerja panitia bertambah berkali-kali.
Dari sisi pelaksanaan, setiap pemilih di DKI Jakarta akan membawa empat lembar surat suara, yaitu untuk memilih presiden-wakil presiden, anggota DPD, anggota DPR, dan anggota DPRD. Diperkirakan seorang pemilih memerlukan waktu sampai lima menit untuk menyelesaikan hak dan aspirasi politiknya.
Jika satu TPS melayani sekitar 280 pemilih, maka perlu waktu lebih dari enam jam untuk menyelesaikan semua pencoblosan itu. Bagi pemilih, masalah selesai sampai di situ saja dan mereka bisa pulang. Sebaliknya untuk petugas dan anggota KPPS/PPS, melanjutkan dengan tabulasi dan penghitungan suara, mengisi formulir-formulir, mencocokkan hasil penghitungan di semua kategori.
Pada akhirnya mereka mengantarkan semua dokumen negara itu ke panitia pemilu di tingkat kecamatan. Kedengarannya sederhana dan mudah. Namun pada praktiknya mereka harus antre sedemikian rupa di tingkat selanjutnya. Sangat melelahkan dan bisa menimbulkan stres.
(Baca: Pesta Diskon Pemilu, Peretail Raup Kenaikan Omzet hingga 10 Kali Lipat)
Walhasil, hingga kemarin, berdasarkan laporan KPU, jumlah anggota KPPS/PPS yang meninggal pada saat proses rekapitulasi hasil Pemilu 2019 tercatat 119 orang dengan 548 yang lain menderita sakit. Ia berharap pemerintah tidak mengulang pemilu serentak sehingga memakan korban lebih banyak.
Dari ujung barat Indonesia, Komisi Independen Pemilihan Provinsi Aceh menyatakan tiga penyelenggara Pemilu 2019 juga meninggal dan puluhan lainnya jatuh sakit saat bertugas.
Ketua Divisi Data dan Informasi KIP Provinsi Aceh Agusni AH mengatakan mereka meninggal diduga karena kelelahan. “Yang meninggal adalah anggota Linmas, KPPS, dan PPS. Sedangkan yang sakit 65 orang dan kini dalam perawatan,” kata Agusni.
Penyelenggara pemilu di Aceh yang wafat yakni M Isa (47), seorang anggota Linmas Gampong Jarommah Me, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen. Dia meninggal pada Rabu (17/4) pukul 01.00 WIB. Beberapa jam sebelumnya, Isa merasa pusing lalu muntah. Kemudian dia dibawa ke rumah abang kandungnya hingga akhirnya meninggal. Sebelumnya, dia mengikuti pembekalan, membantu membuat tempat pemungutan suara, serta ikut apel bersama dan menerima logistik pemilu di TPS.
Penyelenggara pemilu lainnya yang meninggal dunia adalah Munawarsyah (50), Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Kampung Tingkem Benyer, Kecamatan Bukit, Kabupaten Bener Meriah. “Meninggal pada Selasa (16/4) pukul 20.00 WIB, sehari sebelum pemungutan suara saat menulis dan membagikan Formulir C6 atau surat pemberitahuan kepada pemilih,” kata Agusni AH.
Lalu, T Syahril (47), Sekretaris Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Baktiya, Kabupaten Aceh Utara. Dia wafat di rumah sakit setelah beberapa hari dirawat karena kelelahan. Adapun penyelenggara pemilu yang dirawat karena sakit terdiri 10 orang Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), 20 orang Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan 16 orang KPPS.
Selain mereka, masih ada seratusan petugas pemilu lainnya yang mengembuskan napas ketika menjalani serangkaian proses pesta demokrasi ini. Para pahlawan pemilu ini tersebar di pelosok-pelosok penjuru Tanah Air.
Penghargaan untuk Para Pahlawan Pemilu yang Meninggal
Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin menyatakan perlunya pemberian penghargaan bagi petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara yang meninggal karena mengawal Pemilihan Umum serentak 2019. “Saya setuju mereka diberi penghargaan, juga santunan atas upaya kerja mereka,” kata mantan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tersebut.
Menurut dia, sistem pemilu serentak 2019 yang memilih lima surat suara dalam satu waktu perlu dipertimbangkan pada pesta demokrasi selanjutnya. Sebab, kerja serentak ini sangat mungkin memicu kelelahan petugas hingga ada yang sakit bahkan meninggal.
(Baca: Prabowo Beri Arahan Relawan Jaga C1 dan Laporkan Kecurangan)
Meski demikian, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif itu mengatakan, apabila terpaksa tetap menggelar pemilu serentak, perlu dipikirkan agar tidak terlalu melelahkan maupun menjadi kerja berat bagi petugas di tingkat TPS. “Perlu dibicarakan ulang supaya tidak banyak korban karena kelelahan,” katanya.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Purwakarta dan KPU setempat akan memberi penghargaan kepada dua petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal saat menjalankan tugasnya melalui keluarga atau ahli warisnya.
Sekretaris Daerah Purwakarta Iyus Permana, Rabu kemarin, mengatakan pihaknya mengucapkan belasungkawa kepada keluarga petugas yang meninggal. Juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh petugas. Acara penghargaan akan digelar untuk menyematkan kepada keluarga korban maupun ahli waris sebagai Pahlawan Demokrasi.