Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyampaikan bahwa keruwetan dalam tahap pemilihan umum (Pemilu) bukan hal yang baru terjadi di Indonesia. Sebelumnya, ia mengatakan bahwa sejak 2004, pelaksanaan Pemilu juga sarat dengan keruwetan yang menyebabkan terjadinya korban meninggal petugas KPPS.
"Tahun 2004 sudah menjadi isu, namun beda jika dibandingkan sekarang dengan penggunaan media sosialnya yang sangat masif," ujar Anggraini dalam sebuah acara diskusi di Jakarta Sabtu, (27/4).
Menurutnya Pemilu di Indonesia ini sulit dilakukan dengan manajemen prosedur yang ada. Untuk itu ia mengusulkan bagaimana pemilu yang logis. "Bagaimana kita memilih itu, kita hitung bebannya, lalu pemilu serentak DPR dan lainnya bebarengan. Kita tersandera oleh putusan MK," ujar Titi.
Titi juga menekankan perlunya adanya evaluasi untuk penyelenggaraan Pemilu 2019. Menurutnya, diskursus untuk soal desain dan sistem termasuk manajemen penyelenggaraan Pemilu harus didiskusikan bersama sebagai bahan evaluasi.
(Baca: Fenomena Kelelahan Petugas KPPS yang Berujung Kematian)
Sebagai informasi pelaksanaan Pemilu 2019 yang berlangsung serentak dalam satu hari menyisakan tragedi. Sebanyak 225 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) meninggal dunia dan 1.470 orang jatuh sakit. Kelelahan disebut sebagai faktor utama yang menyebabkan kematian.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jawa Barat merupakan provinsi yang mencatat jumlah terbanyak petugas KPPS yang meninggal dunia, yakni 38 orang. Sementara itu, Sulawesi Selatan menjadi provinsi dengan jumlah petugas KPPS terbanyak yang sakit, yakni 191 orang.
Lima Masalah Pemilu 2019
Sebelumnya Perludem juga menginventarisir lima masalah yang terjadi pada Pemilu 2019. Beberapa masalah menyebar mulai dari beredarnya kabar bohong (hoax) hingga beratnya pelaksanaan Pilpres dan Pileg dalam waktu yang bersamaan.
Masalah pertama terkait Pemilu 2019 yang diinventarisir oleh Perludem tersebut adalah menyebarnya hoax yang melanda bukan saja ditujukan pada penyelenggara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun juga kepada keseluruhan proses penyelenggaraan dan peserta Pemilu 2019.
"Pendidikan pemilih harus menyasar literasi digital," kata Titi kepada Katadata di Jakarta, Rabu (24/4).
Kedua, Pemilu 2019 yang kompleks dan berat serta membebani penyelenggara, peserta, hingga pemilih. Beratnya pelaksanaan Pemilu 2019 menurut Titi tak lain adalah karena pelaksanaannya dilakukan secara serentak dalam satu hari. Ketiga, atensi masyarakat yang lebih terfokus kepada Pilpres ketimbang Pileg dikatakan Titi membuat potensi kecurangan di pemilihan anggota legislatif tidak terawasi dengan baik laiknya Pilpres.
Keempat, masih adanya kendala logistik yang terjadi saat Pemilu 2019 seperti ketiadaan surat suara bagi pemilih yang berpindah. Terakhir, terjadinya kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang penetapannya membuat bingung banyak pihak lantaran informasi yang simpang siur.