Tak hanya hasil perhitungan cepat atau quick count sejumlah lembaga survei yang menunjukkan kekalahan Joko Widodo - Ma’ruf Amin di sebagian besar Sumatera -terutama Sumater Barat- dalam pemilihan presiden kali ini, Pilpres 2019. Hitung riil alias real count dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menunjukkan hal yang sama.
Sejumlah faktor memicu keoknya Sang Petahana dari Prabowo Subianto - Sandiaga Uno. Menurut pengamat politik Universitas Andalas, Padang, Edi Indrizal, Jokowi tertinggal jauh di Sumatera Barat pada Pilpres 2019 terkait masalah ideologi, sosiologis, kultural, hingga psikologis. “Semua faktor tersebut saling terkait membentuk perilaku kolektif masyarakat dalam memilih,” kata dia di Padang, Selasa (23/4).
(Baca: Charta Politika: Jokowi-Ma'ruf Masih Kalah di Sumatra)
Hasil quick count lembaga survei KedaiKOPI dalam Pilpres 2019, misalnya, menunjukkan Prabowo-Sandiaga meraih elektabilitas tinggi di Pulau Sumatera. Aceh, Sumatra Barat, dan Riau menjadi lumbung suara bagi pasangan nomor urut 02 tersebut.
Di Aceh, Prabowo-Sandi meraih 89,23 % suara sedangkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebesar 10,77 %. Di Sumatra Barat, perolehan suara Prabowo 85,07 % sedangkan Jokowi hanya 14,93 %. Demikian juga di Riau, Prabowo memperoleh 72,93 % suara sedangkan Jokowi 27,07 % suara.
Lihat grafik Databoks berikut ini:
Di mata Edi, kekalahan Jokowi ini tak mengherankan jika menilik faktor-faktor penyebabnya. Tidak aneh bila dukungan 12 kepala daerah di Sumatera Barat melalui deklarasi terbuka tak membuahkan hasil maksimal. Bahkan, hal itu seakan menjadi bumerang, sebuah strategi yang keliru. Hasilnya, suara Jokowi bukan semakin bertambah, malah lebih turun dibandingkan Pilpres 2014.
Sepekan sebelum pencoblosan, 12 kepala daerah di Sumatera Barat mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi-Ma'ruf di Danau Cimpago, Padang. Mereka di antaranya Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni, Bupati Dharmasraya Sutan Riska, Bupati Pasaman Yusuf Lubis, dan Bupati Tanah Datar Irdinansyah Tarmizi.
(Baca: Wiranto: Hasut Massa untuk Klaim Kemenangan Berpotensi Melanggar Hukum)
Lalu ada Bupati Sijunjung Yuswir Arifin, Bupati Mentawai Yudas Sabaggalet, Bupati Limapuluh Kota Irfendi Arbi, dan Bupati Solok Gusmal. Kemudian Wali Kota Padang Panjang Fadly Amran, Wali Kota Bukittinggi Ramlan Nurmatias, Wali Kota Solok Irzal, dan Wali Kota Pariaman Genius Umar.
Edi menilai strategi yang dipakai untuk memenangkan Jokowi oleh tim sukses di Sumatera Barat ini tidak menjawab persoalan. Terkait ideologi, misalnya, sejak awal PDI Perjuangan selaku partai pengusung utama Jokowi sulit mendapat tempat di hati masyarakat Sumatera Barat.
Jika menggunakan pendekatan polarisasi kemajemukan, Jokowi dominan mendapat suara di Dharmasraya yang notabene dihuni oleh transmigran dari Pulau Jawa. Dari sisi psikologis, ia melihat ada yang memandang hal ini adalah pilihan yang hebat dan rasional.
(Baca: Menang 56% di Yogyakarta Tahun 2014, Jokowi Bidik 70% di Pilpres 2019)
Gejala perilaku seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada negara maju seperti Amerika Serikat pun terjadi, tidak bisa semata soal rasional dan tidak rasional. Selain itu, semakin maraknya penggunaan media sosial berandil membuat masyarakat lebih memilih Prabowo di Sumatera Barat.
Kekalahan Jokowi di Sumatera Sudah Terdeteksi
Sebenarnya, sejumlah sigi yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei sudah melihat rendahnya elektabilitas Jokowi-Maruf. Charta Politika, misalnya, mencatat elektabilitas pasangan ini masih rendah di Sumatera, kalah dibandingkan Prabowo -Sandiaga. Perolehan suara pasangan calon petahana di wilayah ini hanya 43,3 persen.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengungkapkan kekalahan Jokowi-Ma'ruf paling telak terjadi di Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Riau. Pasangan ini hanya unggul di Lampung. Wilayah yang cukup bersaing elektabilitas di antara keduanya, yakni Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu dan Bangka Belitung.
(Baca: Dua Penyebab Elektabilitas Jokowi-Maruf Turun Jelang Pilpres
Menurut Yunarto, kekalahan Jokowi-Ma'ruf di Sumatera Selatan dan Riau salah satunya akibat turunnya harga komoditas karet. Mengacu perdagangan di Tokyo Commodity Exchange, harga karet pada Januari 2018 sempat menyentuh ¥ 214 per kilogram. Kemudian terus turun hingga ¥ 152 per kilogram pada November 2018.
Sejak Desember 2018 hingga Maret lalu, harga karet memang sempat membaik, tapi masih belum mencapai ¥ 200 per kilogram. “Harga karet dulu jauh lebih tinggi. Pemilih hanya tahu apa yang mereka rasakan,” kata Yunarto.