Jakarta Jadi Rajanya Polusi Udara Asia Tenggara

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Laporan Greepeace Indonesia dan AirVisual menunjukkan Jakarta menjadi kota dengan tingkat polusi udara terburuk di Asia Tenggara pada 2018. Pemerintah provinsi DKI Jakarta diminta menerbitkan perda khusus untuk menekan tingkat polusi ini.
8/3/2019, 11.16 WIB

Jakarta menjadi kota yang memiliki tingkat polusi udara terburuk di Asia Tenggara pada 2018. Hal ini terlihat dari data AirVisual dan Greenpeace yang menyebut indeks partikulat debu melayang atau PM 2,5 di Ibu Kota RI yang mencapai 45,3 mikrogram per meter kubik udara.

Indeks partikulat debu melayang atau PM 2,5 adalah partikel udara yang lebih kecil dari 2,5 mikrogram mikrometer serta berisi berbagai macam senyawa yang dapat terhirup masuk ke tubuh manusia. Badan kesehatan dunia (WHO) telah memberi standar batas aman partikel ini hanya 10 mikrogram per meter kubik udara.

Hanoi, Vietnam berada di posisi kedua kota berpolusi udara terburuk di Asia Tenggara dengan 40,8 mikrogram per meter kubik udara. "Jakarta tetap juara pertama," demikian keterangan dari Greenpeace Indonesia yang dikutip dari akun Instagrammnya, Jumat (8/3). Kota Samut Sakhon di Thailand menempati posisi ketiga dengan polusi udara 39,8 mikrogram per meter kubik udara. Di posisi keempat dan kelima, masing-masing Tha Bo dan Saraburi juga dari Thailand, dengan indeks polusi 37,6 dan 37,2 mikrogram per meter kubik udara.

Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, ada beberapa hal yang membuat Jakarta menjadi raja polusi udara Asia Tenggara. Gas buang kendaraan, keberadaaan kawasan industri dan pabrik, serta Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjadi beberapa penyebabnya. "Sekitar 35-38% (polusi udara) disumbang PLTU apalagi dengan angin bergerak ke arah kota," kata Leonard kepada Katadata.

Leonard menjelaskan, bahaya dan pengurangan PM 2,5 ini merupakan salah satu hal gencar dikampanyekan Greenpeace selama dua setengah tahun belakangan. Apalagi partikel polutan tersebut dapat menyebabkan beberapa penyakit, seperti kardiovaskular (jantung) hingga Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). "Karena partikel kecil bisa masuk aliran darah," katanya.

(Baca: Kematian Akibat Polusi Udara di Asia Tenggara Akan Naik Drastis)

Penerbitan Perda Khusus

Dia juga menyayangkan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi DKI Jakarta yang belum juga membuat aturan guna menekan angka PM 2,5 ini. Padahal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki otonomi dan kapasitas fiskal untuk mengatasi masalah ini. Pemprov bisa menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) untuk menekan tingkat polusi udara.

"Kalau Pak Anies (Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta) mau, bisa dibikin Perda khusus. Ini bisa menjadi referensi bagi provinsi lain dan nasional," ujar Leonard. Selain itu, Greenpeace menilai, DKI Jakarta memerlukan sistem peringatan untuk memberitahu warganya apabila kondisi udara telah melebihi batas aman.

Langkah pembatasan kendaraan hingga meregulasi pembangkit listrik juga menjadi hal yang perlu dilakukan pemerintah. "Seperti di Beijing dan Bangkok, warganya jadi tahu harus membawa masker atau tidak. Lalu tahu juga jenis masker apa yang perlu digunakan," kata dia.

(Baca: Mulai 2040, Perancis Larang Kendaraan Pakai Bensin dan Diesel)

Menurut data infografik yang diunggah di Instagram @greenpeaceid, hanya Jakarta satu-satunya kota di Indonesia yang dianggap berpolusi udara berat di Asia Tenggara. Namun Leonard mengatakan hal itu tak serta merta membuat kota lain di Indonesia memiliki tingkat polusi rendah.

Ketiadaan kota lain ini disebutnya bisa jadi karena fasilitas pemantauan udara yang minim. "Jadi kami meminta pengadaan alat pemantauan udara yang lebih representatif," ujarnya.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution