Partai Demokrat: Demokrasi Mundur karena Ambang Batas Presiden

ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Partai Demokrat menilai fanatisme berlebihan di antara pendukung pasangan calon dalam Pilpres 2019 disebabkan oleh ambang batas presiden sebesar 25%.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
2/3/2019, 10.48 WIB

Partai Demokrat menilai terjadi fanatisme berlebihan antarpendukung pasangan calon (paslon) di Pilpres 2019. Hal ini terjadi karena ambang batas presiden (presidential threshold) sebesar 25% yang membatasi pilihan masyarakat atas calon pemimpinnya.

Ketua Komando Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mencontohkan fanatisme itu dapat dilihat dari berbagai grup Whatsapp di masyarakat. Perbedaan pandangan dan pilihan politik menyebabkan debat kusir kerap terjadi, masing-masing pihak membela pilihannya secara subjektif dan membabi buta.

"Kita tidak lagi mau mendengar dan melihat secara jernih dan jujur tentang apa yang sebenarnya terjadi," kata AHY dalam pidato politiknya di Djakarta Theater, Jakarta, Jumat (1/3) malam.

Masyarakat acapkali tak sadar telah menyebarkan hoaks. Banyak orang keluar dari lingkaran pergaulan hanya karena preferensi politiknya tak lagi sejalan. "Ada juga anggota grup yang di-remove oleh admin karena dianggap provokator, makar, atau mengganggu stabilitas politik dalam grup," kata AHY.

Selain itu, penggunaan warna dan simbol jari saat ini bisa jadi masalah. AHY mengatakan hal itu seperti menimpa kalangan perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mereka awalnya menggunakan simbol jari ketika berfoto bersama untuk menandakan angkatan kelulusan di Akademi Militer. Namun pose mereka dianggap sebagai dukungan pada pasangan calon tertentu dalam Pilpres 2019.

AHY pun menyebut ada penumpang taksi online yang diturunkan di tengah jalan hanya karena menggunakan kaos yang menunjukkan adanya perbedaan pilihan politik dengan pengemudinya. "Di tempat lain, makam terpaksa dibongkar dan jenazah dipindahkan karena pemilik tanah pemakaman dan keluarga almarhum berbeda pilihan politik," kata AHY.

Kondisi ini jauh berbeda jika dibandingkan saat Demokrat berada di pemerintahan. AHY mengklaim, saat itu stabilitas politik terjaga baik. Dalam Pemilu, lanjutnya, tak ada ketegangan berlebihan antarpendukung. Perbedaan pandangan dan pilihan politik pun tidak dibawa ke level pribadi.

"Kehidupan politik dan demokrasi yang susah payah kita bangun sejak krisis 1998 dan hasilnya kian nyata, kini terasa mundur kembali, set back," kata AHY.

AHY yakin sebenarnya masyarakat sudah lelah dengan adanya gesekan politik yang terjadi. Hal ini ditandai adanya satir capres alternatif Nurhadi-Aldo di media sosial.

Potensi golput yang besar juga menjadi indikasi kejenuhan masyarakat terhadap kehidupan politik dan demokrasi saat ini. "Itulah mengapa Partai Demokrat tampil ke depan untuk mengoreksi batasan presidential threshold yang berpotensi membelah bangsa karena terbatasnya pilihan calon pemimpin kita," kata AHY.

(Baca: Pidato Politik AHY: Hukum Jangan Tajam ke Bawah tapi Tumpul ke Atas)

Kaji Kembali Pemilu Serentak

AHY juga menilai, sistem Pemilu serentak 2019 perlu dikaji kembali. Pasalnya, sistem tersebut hanya akan berdampak signifikan kepada elektabilitas partai pengusung utama calon presiden.

Hal tersebut tak terjadi kepada partai-partai lainnya. "Hanya partai pengusung utama capres lah yang paling berpotensi mendapatkan efek elektoral terbesar," kata AHY.

Jika kondisi ini berlanjut, AHY khawatir era multipartai di masa depan akan berakhir. Hal tersebut pun hanya menyisakan dua partai, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat.

Padahal, dia menilai sistem dua partai belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Terlebih, melihat kemajemukan dan latar belakang historis Indonesia. "Partai Demokrat berpandangan bahwa sistem multipartai merupakan pilihan yang paling rasional," kata AHY.

Atas dasar itu, AHY berharap seluruh pihak dapat duduk bersama membahas sistem politik yang tepat. Hal ini ditujukan agar sistem politik di Indonesia tak justru merugikan. Pasca Pemilu 2019, ia meminta semua pihak duduk bersama untuk berdialog dan membangun konsensus nasional tentang sistem politik yang paling cocok bagi Indonesia.

SBY Tak Ikut Kampanye, Demokrat Yakin Elektabilitas Tak Tergerus

Reporter: Dimas Jarot Bayu